Minggu, 05 Januari 2020

Taman Nasional Ini Ajak Traveler Berteman dengan Kegelapan

Sebagian besar wilayah di Indonesia mengalami mati listrik masal kemarin Minggu (4/8). Namun, di taman nasional ini traveler tak perlu takut dengan kegelapan.

Adalah Pegunungan Hehuan di Taman Nasional Taroko, Taiwan, yang menerapkan ide tersebut. Oleh pihak setempat, taman nasional itu memang didesain untuk menjadi taman langit gelap pertama di Taiwan atau yang disebut dengan dark sky park.

Dilihat detikcom dari situs resmi asosiasi internasional Dark Sky (IDA), Senin (5/8/2019), upaya itu dilakukan untuk melindungi suasana taman nasional yang kondusif di malam hari.

Untuk informasi, taman langit gelap merupakan sebutan untuk area konservasi alam yang diimplementasikan untuk pencahayaan outdoor yang baik serta menghadirkan langit gelap untuk para pengunjung menurut asosiasi IDA.

Selain dari pihak asosiasi, kelompok LSM lokal yang bernama Taiwan Dark Sky Protection Alliance juga telah menyuarakan program Hehuan Mountain Dark Sky Park (HMDSP) sejak 2014 silam.

Setelah mengirimkan proposal kepada asosiasi IDA tahun 2018, pihak pemerintah setempat akhirnya mendapat persetujuan dari asosiasi pada Minggu pekan lalu (28/7).

Diucapkan oleh Kepala Pariwisata Nantou, Lee meng-chen, persetujuan tersebut merupakan awal. Ke depannya, pihak Nantou berencana untuk menjadikannya sebagai program wisata Taiwan.

Menseriusi hal tersebut, pihak pemerintah lokal tengah berusaha menggandeng pihak pengelola hotel dan warga setempat untuk mengurangi polusi cahaya seminimal mungkin.

Menurut data dari asosiasi IDA, Hehuan Mountain Dark Sky Park menjadi tempat ketiga di dunia yang menerapkan konsep langit gelap di Asia setelah Iriomote Ishigaki di Jepang dan Yeongyang Firefly Eco Park di Korea Selatan seperti diberitakan Focus Taiwan.

Ratusan Ribu Wisatawan Nikmati Senandung Negeri di Atas Awan Dieng

 Tercatat sekitar 100 ribu wisatawan meramaikan Senandung Negeri di Atas Awan yang merupakan bagian dari acara Dieng Culture Festival 2019 di Lapangan Pandawa, Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Banyaknya penonton ini tidak terlepas dari hadirnya bintang tamu, seperti Djaduk Ferianto bersama Kua Etnika dan Isyana Sarasvati. Tingginya animo publik pun diapresiasi Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya. Apalagi, wisatawannya tetap didominasi oleh milenial.

"Dieng Culture Festival secara keseluruhan bagus. Mampu menarik arus wisatawan dalam jumlah besar, khususnya pasar milenial. Mereka tinggal sedikit memolesnya lagi untuk event di tahun depan. Akses masuk dan keluar dari venue harus di-treatment lagi agar nyaman. Intinya, cepat mengurai kumpulan massa," kata Arief dalam keterangan tertulis, Senin (5/8/2019).

Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani mengungkapkan, Senandung Negeri di Atas Awan termasuk event unggulan di Dieng Culture Festival 2019.

"Senandung Negeri di Atas Awan memang luar biasa. Bisa jadi konten unggulan. Pergerakan wisatawan bisa maksimal sekali. Mereka jeli menangkap keinginan pasar. Djaduk Ferianto dan Isyana Sarasvati menjadi kombinasi bagus. Selain populer, keduanya memiliki fans yang kuat," ungkap Rizki.

Antusiasme pengunjung sudah terlihat sejak sore hari. Mereka mulai memadati venue 2 jam sebelum konser. Untuk masuk ke venue, wisatawan pun harus berdesak-desakan. Venue utamanya penuh sesak. Namun, mereka terlihat duduk rapi di sekeliling stage.

"Apa yang terlihat dalam konten Senandung Negeri di Atas Awan sungguh fenomenal. Pergerakan wisatawan sangat masif. Beberapa evaluasi tampaknya harus dilakukan untuk memberikan kenyamanan secara keseluruhan. Namun, secaraumum progresnya sangat kompetitif," terang Rizki lagi.

Tingginya antusias pengunjung direspons dengan performa memikat para penampil. Djaduk Ferianto dan Kua Etnika melempar banyak hits. Beberapa lagunya, yaitu Jawa Dwipa dan Swarna Dwipa. Aksi Djaduk Ferianto lalu ditutup lagu Sewu Kuto milik Didi Kempot. Namun, aransemennya mengalami perubahan. Mengikuti sytle Djaduk bersama Kua Etnikanya.

Gua Gilap, Sumber Mata Air Tak Pernah Kering di Gunungkidul

Mari mengenal Gua Gilap di Gunungkidul. Tidak hanya menawarkan pemandangan indah stalaktit, di sini ada sumber mata air yang tidak pernah kering.

Berlokasi di Dusun Klumpit, Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Gua Gilap dapat dicapai dengan melakukan perjalanan 1 jam 40 menit, atau 57 kilometer dari jantung Kota Yogyakarta. Namun, sesampainya di Desa Kenteng, pengunjung harus menyusuri jalan cor blok dengan kontur naik turun hingga Dusun Klumpit.

Memasuki Dusun Klumpit, pengunjung hanya perlu menuju SD Klumpit. Sesampainya di SD tersebut terdapat simpang 3 yang salah satu jalannya terbuat dari cor beton. Sampai di simpang 3 itu pengunjung harap mengambil jalur yang terbuat dari cor beton.

Menyusuri jalan tersebut, pengunjung akan mendapati pelataran yang cukup luas, selain itu terdapat plakat bertuliskan 'Gua Gilap'. Di samping plakat itu terdapat puluhan anak yang mengarah ke bawah, tepatnya ke Gua Gilap.

Menuruni puluhan anak tangga itu, pengunjung akan mendapati pintu masuk ke Gua Gilap. Tampak pula di mulut gua itu terdapat puluhan stalaktit yang memanjakan mata pengunjung.

Warga Dusun Klumpit, Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul, Budiyanto (70) menjelaskan, bahwa masyarakat Dusun Klumpit menyebut Gua Gilap dengan nama Gua Song Gilap. Menurutnya, song adalah bebatuan yang terbentuk pada gua dan gilap memiliki arti mengilap.

"Dari dulu namanya Gua Song Gilap, menurut cerita nama itu sudah ada sejak zaman para Wali. Kalau dalam bahasa Jawa, artinya gua yang bagus karena gilap atau mengilap," ujarnya saat ditemui di rumahnya, Dusun Klumpit, Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Minggu (4/8/2019) kemarin.

Menurut pria yang kerap disapa Paijo ini, Gua Gilap banyak memiliki stalaktit. Sedangan di dalam Gua terdapat sumber air yang saat ini dimanfaatkan warga Dusun Klumpit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Kalau pemandangan di dalam gua (Gilap) bagus tapi gelap dan digenangi air. Karena di dalam gua memang ada sumber airnya dan yang menemukan itu (sumber air) saya," katanya.

"Jadi antara tahun 1971-1972 itu saya mencari kelelawar, saat kelelawarnya ada yang terbang ke dalam lubang. Nah, saya kejar dan pas mengejar itu saya dengar suara aliran air," sambung Paijo.

Mendengar suara aliran air, Paijo lantas mengabari rekan-rekannya untuk mengecek suara tersebut. Setelah melakukan penyusuran sejauh setengah kilometer, akhirnya ia menemukan sumber air di dalam Gua Gilap.

"Sumber air itu terus dimanfaatkan oleh warga sampai saat ini dengan cara disedot pakai mesin yang dialirkan lewat pipa. Selain itu, saat ini warga berencana untuk mengembangkannya (Gua Gilap) sebagai tempat wisata," kata Paijo.

Salah satu pemandu wisata Gua Gilap, Joko Susilo (22) menjelaskan, bahwa Gua Gilap memiliki batu dengan ornamen unik. Karena itu, warga ingin memanfaatkan keberadaan Gua tersebut untuk tempat wisata minat khusus.

"Di gua lain biasanya hanya ada stalaktit dan stalakmit, tapi Gua Gilap memiliki batu kapur dengan ornamen teratai dan ornamen jamur. Ornamen pada batu kapur itu terbentuk karena pengaruh suhu dan kondisi di dalam Gua," ucapnya kepada detikcom, Minggu (4/8/2019) malam.

Namun, kata Joko, untuk menikmati pemandangan unik itu pengunjung harus memiliki stamina dan fisik yang prima. Bukan tanpa alasan, hal itu karena memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mencapai lokasi istana ornamen.

"Karena perlu 2 jam untuk mencapai pos 3, atau yang kami sebut dengan istana ornamen (lokasi batu kapur dengan ornamen menyerupai teratai dan jamur), dan kalau bolak-balik memakan waktu 4 jam," katanya.

"Dan rutenya saat berangkat ke pos 3 itu melawan arus sungai bawah tanah, sedangkan pulangnya mengikuti arus dari Utara ke Selatan," imbuh Joko.

Karena itu, menurut Joko, Gua Gilap benar-benar diperuntukkan bagi wisatawan dengan minat khusus. Tak hanya itu, Joko juga meminta wisatawan agar menaati peraturan khusus saat sampai di istana ornamen.

"Kalau sudah sampai di istana ornamen wisatawan jangan sampai menyentuh satupun ornamen, karena itu (menyentuh batu kapur dengan ornamen unik) bisa menghambat pertumbuhan ornamen pada batu," ujarnya.

Joko mengakui, saat ini Gua Gilap belum secara resmi dibuka sebagai tempat wisata. Kendati demikian, ia menyebut sudah ada beberapa wisatawan yang berkunjung ke Gua tersebut.

"Karena wisata minat khusus, saat ini yang datang belum terlalu banyak, biasanya orang-orang dari universitas dan SMA untuk pembelajaran ilmu bumi. Yang dari mancanagera juga ada, yaitu dari Rusia, bahkan sudah beberapa kali itu ke sini (Gua Gilap)," kata Joko.

Terkait tarif untuk susur Gua Gulap, Joko mengaku belum memberlakukan tarif resmi. Hal itu karena belum ada keputusan antara warga dengan Pemerintah Desa.

"Belum didealkan sama (Pemerintah) Desa jadi belum ada tarif pasti. Tapi kalau ada tamu sistemnya paketan, biayanya Rp 750 ribu untuk 5 orang, dan bisa berubah juga sesuai dengan kesepakatan awal," ucapnya.

"Paketan itu sudah termasuk 2 pemandu, peralatan (susur Gua Gilap) dan makan satu kali," imbuh Joko.