Jumat, 01 Mei 2020

Studi Pelajari Efek Penggunaan Ventilator pada Pasien Corona

 Sebuah studi terbaru menemukan sekitar 88 persen pasien positif terinfeksi virus corona (Covid-19) yang memakai ventilator di sistem rumah sakit di New York, meninggal. Atau ini berarti, hampir sembilan dari 10 pasien Covid-19 dari studi.

Ventilator adalah mesin yang berfungsi menunjang atau membantu pernapasan seseorang. Melalui alat ini, pasien yang kesulitan bernapas akan dibantu mendapatkan udara dan bernapas selayaknya orang sehat.

Namun tim peneliti menerangkan, statistik yang suram itu bukan berarti menyiratkan bahwa ventilator menyebabkan kerusakan. Penulis senior yang juga Senior Vice President dan Profesor di Institutes for Medical Research at Northwell Health, Karina Davidson mengatakan pasien yang memakai ventilator biasanya memiliki penyakit yang lebih parah.

"Dan karena itu lebih mungkin meninggal. Ventilator mekanis tidak berbahaya, dan dalam banyak kasus, merupakan mesin penyelamat jiwa," terang Davidson dikutip dari Live Science.

Studi yang diterbitkan di jurnal JAMA pada 22 April 2020 ini menganalisis data 5.700 pasien yang dirawat di rumah sakit periode 1 Maret-4 April melalui sistem kesehatan terbesar di New York, Northwell Health. Mereka adalah pasien di 12 rumah sakit di New York City, Long Island dan Westchester County.

Dari seluruh pasien pengguna ventilator tersebut, 2.643 meninggal dan 320 pasien berhasil menyelesaikan perawatan atau keluar rumah sakit. Data ini menggambarkan sekitar 12 persen pasien Covid-19 yang memakai ventilator, selamat.

Namun peneliti juga membedakan berdasarkan usia, pasien berusia antara 18 dan 65 tahun yang menggunakan ventilator, 76 persennya meninggal. Sementara laporan menunjukkan, 97 persen yang meninggal pada pasien berusia di atas 65 tahun.

Menurut para peneliti, dari 2.634 pasien--baik yang menggunakan ventilator atau tidak--sekitar 21 persen di antaranya meninggal. Akan tetapi sebanyak 3.066 pasien lainnya masih dirawat di rumah sakit ketika studi ini berakhir. Sehingga para peneliti mengingatkan, data ini mungkin bisa menjadi 'bias temuan' dari studi.

Para peneliti menemukan, di antara pasien yang dirawat di rumah sakit beberapa memiliki kondisi umum antara lain hipertensi (56,6 %), obesitas (41,7 %) dan diabetes (33,8 %). 

Mengenal Ventilator dan Kegunaannya untuk Pasien Covid-19

Demi memerangi pandemi virus corona, negara-negara di seluruh dunia kini berebut alat kesehatan dalam upaya memerangi virus Corona. Kebutuhan masker, alat pelindung diri (ADP), hingga ventilator sangat tinggi dan memaksa produksi yang tanpa henti.

Pemerintah Indonesia telah mendatangkan 100 ventilator, atau alat bantu pernapasan, untuk dikirim ke beberapa rumah sakit rujukan untuk kasus Covid-19. Pemerintah juga menyatakan bahwa setiap rumah sakit rujukan sudah memiliki ventilator, dan dinyatakan siap pakai.

Ventilator memiliki peran yang vital dalam penanganan pasien Covid-19.
Apa sebenarnya ventilator?

Ventilator adalah mesin yang berfungsi untuk menunjang atau membantu pernapasan seseorang. Melalui alat ini, pasien yang sulit bernapas sendiri akan dibantu untuk mendapatkan udara dan bernapas seperti orang normal.

Mengutip Alodokter, mesin ventilator akan mengatur proses menghirup dan menghembuskan napas pada pasien. Ventilator akan memompa udara selama beberapa detik untuk menyalurkan oksigen ke paru-paru pasien, lalu berhenti memompa agar udara keluar dengan sendirinya dari paru-paru.

"Alasan mengapa saat ini adalah saat krisis adalah karena tanpa ventilator, pasien (Covid-19) akan meninggal", kata Prof. David Story, deputi direktur Pusat Perawatan Terpadu Universitas Melbourne, seperti dikutip dari The Guardian.

Hal senada diungkapkan oleh Sarath Ranganathan, profesor sekaligus anggota dewan Lung Foundation Australia.

"Pengalaman di Italia dan Spanyol, dan pemodelan yang digunakan oleh ahli matematika di seluruh dunia, menunjukkan jumlah orang yang akan menjadi sakit kritis dengan Covid-19 akan sangat melebihi kapasitas perawatan yang menggunakan bantuan pernapasan. Tanpa akses ke ventilator, banyak pasien yang bisa selamat dari infeksi akan meninggal," ujarnya.

Menanti Hasil Uji Keampuhan Obat Radang Sendi untuk Corona

Saat ini para peneliti juga perusahaan farmasi dari berbagai belahan dunia melakukan uji terhadap vaksin maupun obat untuk Covid-19. Tocilizumab yang biasa dikenal sebagai obat radang sendi (arthritis) juga dipandang memiliki potensi untuk menangani kasus corona.

Perusahaan farmasi Roche memasok tocilizumab dengan merk dagang Actemra ke Indonesia. Meski belum mendapatkan persetujuan untuk perawatan klinis pasien rawat inap dengan pneumonia covid-19 yang parah tetapi, komunitas medis Indonesia meminta obat tersebut secara darurat dengan istilah off-label use. Istilah ini merujuk pada penggunaan label di luar indikasi yang ditetapkan.

"Kami memahami bahwa permintaan akan terus muncul selama beberapa minggu mendatang, dan kami terus berkomunikasi dengan otoritas kesehatan untuk memenuhi persyaratan yang diperlukan dan memenuhi kebutuhan pasien," tulis Roche dalam sebuah pernyataan resmi yang diterima CNNIndonesia, Kamis (30/4).


Tocilizumab merupakan obat yang biasanya diberikan untuk pasien radang sendi. Obat ini pertama kali disetujui penggunaannya untuk pasien dewasa dengan artritis reumatoid (AR) tingkat sedang hingga berat.

Di berbagai negara, obat ini disetujui untuk terapi penyakit polyarticular juvenile idiopathic arthritis (pJIA), systemic juvenile idiopathic arthritis (sJIA) pada anak-anak dua tahun ke atas, juga penyakit Castleman dan Takayasu Arteritis di Jepang.

Dalam beberapa riset, tocilizumab menunjukkan potensi untuk menangani pasien covid-19. Dalam studi di China yang diinisiasi oleh Xu dkk, penelitian melibatkan pasien Covid-19 dengan gejala sedang atau berat di Anhui Provincial Hospital dan Anhui Fuyang Second People's Hospital. Pasien diberi tocilizumab sebagai terapi tambahan mulai 5-14 Februari 2020.

Hasilnya, rata-rata demam pasien turun dan gejala-gejala lain makin turun termasuk 75 persen pasien tidak memerlukan pasokan oksigen terlalu banyak. Sebanyak 90,5 persen pasien menyelesaikan perawatan dalam kurun waktu rata-rata 13,5 hari setelah menjalani terapi tocilizumab. Sedangkan lainnya dinyatakan sembuh.

Hanya saja ini masih merupakan penelitian awal.

Saat ini itu Roche yang bekerja sama dengan US Food & Drug Administration (FDA) memulai uji klinis ketiga untuk penggunaan tocilizumab pada pasien Covid-19 dengan gejala pneumonia berat.

Penelitian ini dilakukan sejak awal April 2020, uji klinis menargetkan sebanyak 330 pasien di seluruh dunia termasuk AS.

Uji klinis dilakukan untuk melihat keamanan dan efikasi tocilizumab intravena yang ditambahkan pada protokol standar pasien dewasa yang dirawat dengan pneumonia Covid-19 yang berat dibandingkan dengan plasebo yang disertai dengan pengobatan standar. Pasien pun akan diamati selama 60 hari sejak penentuan jenis terapi.

"Kami menginisiasi uji klinis untuk mempelajari manfaat tocilizumab untuk penanganan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia Covid-19 yang berat, sehingga kami dapat mengembangkan lebih baik peran potensial tocilizumab dalam memerangi penyakit ini," kata Levi Garraway, Chief Medical Officer dan Head of Global Product Development Roche.

Pada tanggal 7 April 2020, Roche Indonesia yang berkerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan juga Kementerian Badan Usaha Milik Negara mendatangkan instrumen yang diperlukan untuk menjalankan pengujian COVID-19 dan juga persediaan tamiflu untuk faslitias kesehatan.