Rabu, 06 Mei 2020

Jokowi Ingin Corona Turun di Mei, Ini Syarat Penting untuk Mewujudkan

Presiden RI Joko Widodo menargetkan kurva kasus COVID-19 di Indonesia akan menurun di bulan Mei hingga menjadi posisi ringan di bulan Juli. Maka dari itu, dirinya meminta seluruh jajaran baik aparat negara beserta elemen masyarakat dapat bekerja sama mewujudkannya.
"Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai, sesuai target yang kita berikan yaitu, kurvanya harus turun, dan masuk pada posisi sedang di bulan Juni, dan bulan Juli masuk pada posisi ringan, dengan cara apapun, dan itu dilakukan tidak hanya dengan Gugus Tugas COVID-19, tapi seluruh elemen bangsa," ungkap Presiden RI Joko Widodo pada Rabu (6/5/2020).

Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, menilai kecil kemungkinan kurva menurun di bulan Mei. Karena laporan penambahan kasus Corona di Indonesia masih tinggi.

"Sekarang sudah masuk Mei kan masih meningkat, kasus barunya sekarang kan antara 400. Nah itu kemampuan lab-nya sekarang ini masih terbatas masih 34 lab, jadi kalau ditingkatkan jumlah lab-nya pasti meningkat terutama luar provinsi Jakarta," ungkap dr Tri saat dihubungi detikcom pada Rabu (6/5/2020).

Meski begitu menurutnya ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan untuk segera menurunkan wabah Corona di Indonesia secepat mungkin.

1. Deteksinya tidak terhambat
Deteksi Corona dinilai dr Tri masih lambat. Perlu untuk meningkatkan kemampuan deteksi ini agar menekan penyebaran Corona di Indonesia.

"Sekarang masih terjadi delay 5 sampai 7 hari, apalagi di provinsi mungkin ada yang sampai 10 hari, kabupaten juga ada yang 10 hari, tapi rata-rata 5-7 hari, deteksinya seharusnya tidak terlambat, maksimal 2 hari," ungkapnya.

2. Isolasi kasus
Disebutkan hanya 3 ribu kasus Corona positif yang menjalani perawatan di rumah sakit. Hal ini disinggung dr Tri agar menjadi pengawasan ketat.

"Semua isolasi kasus baik yang di rumah sakit atau di rumah isolasi kasus dilakukan dengan baik. Sekarang ini isolasi di rumah yang lebih banyak dari kasusnya, jadi kalau sekarang ada 11 ribu kasus, itu berapa yang dirawat sedikit sekali bayangin 3 ribuan dirawat di RS, sisanya ada di rumah begitu," tuturnya.

"Jadi isolasi yang di rumah ini harus benar-benar isolasi, saya nggak jamin semua kasus yang diisolasi di rumah dilakukan dengan baik. Kalau nggak diisolasi dia bisa menularkan kepada orang lain," lanjutnya.

3. Contact tracing lengkap
Contact tracing lengkap pun dinilai dr Tri menjadi hal penting dalam menekan kasus penyebaran Corona di Indonesia.

"Dilakukan contact tracing lengkap, jadi kasus dilakukan contact tracing terhadap semua kasus yang ada harian itu 400-an harus ditracing, kemudian tanyakan kontaknya berapa dari setiap kasus, kalau nggak lengkap kemungkinan ada penularan orang lain," kata dr Tri.

"Kalau nggak lengkap ternyata di daerah itu banyak contact tracing yang dilakukan karena penolakan, jadi kemudian saya bilang pokoknya kalau ditolak upayakan dari RT-nya atau tetangganya, pasti bisa dilakukan contact tracing," ungkapnya.

4. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Perlunya tindakan PSBB yang tegas untuk membuat kurva kasus Corona dengan cepat menurun. dr Tri menilai hal ini adalah upaya yang tak kalah penting untuk cepat mengatasi wabah Corona di Indonesia.

"Jadi PSBB sebenarnya adalah modifikasi dari social distancing sedang atau social distancing berat, kalau berat yang hanya boleh keluar adalah kalau dia mau beli obat atau beli makanan itu baru boleh keluar, kalau sedang itu masih boleh keluar," jelasnya.

"jadi PSBB itu modifikasi antara berat dan sedang, tapi nggak berat, nah ini karena harapannya kalau misalnya menerapkan lockdown social ditancing berat yang tidak memperbolehkan keluar dan masuk, jadi otomatis kegiatan ekonominya bisa jadi 0 bahkan negatif," pungkasnya.

5. Turun jadi 200 kasus perhari
Terakhir ia menjelaskan bahwa kasus Corona bisa dianggap menurun jika laporan penambahan kasus menjadi 200 kasus perhari. "Diharapkan penurunan kasusnya turun jadi 200an, kalau 300-400 masih banyak," bebernya.

Dengan catatan tentunya, pemeriksaan tetap dilakukan dan menjangkau sebanyak mungkin warga.

Ahli Jantung Jelaskan Soal Henti Jantung Seperti yang Dialami Didi Kempot

Legenda musik campursari Didi Kempot meninggal dunia karena henti jantung pada hari Selasa (5/5/2020). Pihak Rumah Sakit (RS) Kasih Ibu di Solo menjelaskan Didi masuk sudah dalam kondisi tidak sadar.
"Tiba di IGD pagi ini pukul 07.25, kondisi tidak sadar, henti jantung, henti nafas. Dilakukan tindakan resusitasi, namun pasien tidak tertolong. Dinyatakan meninggal oleh dokter pukul 07.45," kata Asisten Manajer Humas Rumah Sakit (RS) Kasih Ibu, Divan Fernandez, beberapa waktu lalu.

Terkait hal ini, di media sosial tampaknya tak sedikit yang menyebut Didi Kempot mengalami serangan jantung. dr Vito A Damay, SpJP(K), Mkes, FIHA, FICA, FAsCC, dari Siloam Hospital Lippo Village menjelaskan henti jantung dan serangan jantung adalah dua hal yang berbeda.

"Kita perlu bedakan henti jantung dan serangan jantung. Tidak semuanya henti jantung karena serangan jantung," kata dr Vito pada detikcom, Rabu (6/5/2020).

Serangan jantung terjadi ketika pembuluh darah yang menyuplai darah ke jantung tiba-tiba tersembat. Sementara henti jantung terjadi ketika kelistrikan otot-otot jantung terganggu hingga akhirnya jantung berhenti berdetak.

dr Vito mengatakan tidak semua henti jantung disebabkan oleh serangan jantung. Meski memang bila tidak ada penjelasan lain dan kejadian henti jantung terjadi mendadak maka kemungkinan terbesarnya bisa karena serangan jantung.

"Contoh orang infeksi berat, kecelakaan, kehabisan darah juga ujungnya henti jantung ketika meninggal tapi bukan disebabkan serangan jantung," ungkap dr Vito.

"Bila pembuluh darah koroner ini tersumbat mendadak, itulah yang dinamakan serangan jantung. Hal ini menyebabkan orang umumnya mengeluhkan sakit dada berat atau disertai sesak napas. Dada rasanya terhimpit, seperti diremas, atau ditindih benda sangat berat. Akibatnya jantung akan menurun fungsinya sebagai pompa dan dapat timbul gangguan listrik jantung yang berat dan akhirnya meninggal mendadak," pungkasnya.

Jokowi Ingin Corona Turun di Mei, Ini Syarat Penting untuk Mewujudkan

Presiden RI Joko Widodo menargetkan kurva kasus COVID-19 di Indonesia akan menurun di bulan Mei hingga menjadi posisi ringan di bulan Juli. Maka dari itu, dirinya meminta seluruh jajaran baik aparat negara beserta elemen masyarakat dapat bekerja sama mewujudkannya.
"Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai, sesuai target yang kita berikan yaitu, kurvanya harus turun, dan masuk pada posisi sedang di bulan Juni, dan bulan Juli masuk pada posisi ringan, dengan cara apapun, dan itu dilakukan tidak hanya dengan Gugus Tugas COVID-19, tapi seluruh elemen bangsa," ungkap Presiden RI Joko Widodo pada Rabu (6/5/2020).

Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, menilai kecil kemungkinan kurva menurun di bulan Mei. Karena laporan penambahan kasus Corona di Indonesia masih tinggi.

"Sekarang sudah masuk Mei kan masih meningkat, kasus barunya sekarang kan antara 400. Nah itu kemampuan lab-nya sekarang ini masih terbatas masih 34 lab, jadi kalau ditingkatkan jumlah lab-nya pasti meningkat terutama luar provinsi Jakarta," ungkap dr Tri saat dihubungi detikcom pada Rabu (6/5/2020).

Meski begitu menurutnya ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan untuk segera menurunkan wabah Corona di Indonesia secepat mungkin.

1. Deteksinya tidak terhambat
Deteksi Corona dinilai dr Tri masih lambat. Perlu untuk meningkatkan kemampuan deteksi ini agar menekan penyebaran Corona di Indonesia.

"Sekarang masih terjadi delay 5 sampai 7 hari, apalagi di provinsi mungkin ada yang sampai 10 hari, kabupaten juga ada yang 10 hari, tapi rata-rata 5-7 hari, deteksinya seharusnya tidak terlambat, maksimal 2 hari," ungkapnya.

2. Isolasi kasus
Disebutkan hanya 3 ribu kasus Corona positif yang menjalani perawatan di rumah sakit. Hal ini disinggung dr Tri agar menjadi pengawasan ketat.

"Semua isolasi kasus baik yang di rumah sakit atau di rumah isolasi kasus dilakukan dengan baik. Sekarang ini isolasi di rumah yang lebih banyak dari kasusnya, jadi kalau sekarang ada 11 ribu kasus, itu berapa yang dirawat sedikit sekali bayangin 3 ribuan dirawat di RS, sisanya ada di rumah begitu," tuturnya.

"Jadi isolasi yang di rumah ini harus benar-benar isolasi, saya nggak jamin semua kasus yang diisolasi di rumah dilakukan dengan baik. Kalau nggak diisolasi dia bisa menularkan kepada orang lain," lanjutnya.