Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat meminta Indonesia untuk menghentikan riset k dan hidroksiklorokuin bagi pasien Corona karena dianggap meningkatkan risiko kematian akibat COVID-19. Permintaan ini didasari hasil riset di jurnal The Lancet, yang belakangan ditarik karena dinilai meragukan.
Menanggapi, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), mengatakan untuk Solidarity, riset klorokuin memang ditunda namun pemberian klorokuin tetap dilanjutkan.
Para ahli di Indonesia yang melakukan studi sendiri melihat tidak terjadi kenaikan risiko kematian dan kefatalan pasien COVID-19 yang diberikan klorokuin maupun hidroksiklorokuin. Dalam studi awal, para ahli melihat 500 pasien COVID-19 baik yang diberikan klorokuin dan hidroksiklorokuin maupun tidak.
Hasilnya, risiko kematiannya tidak jauh berbeda. Artinya klorokuin atau hidroksiklorokuin tidak terbukti meningkatkan risiko kematian.
"Yang dapat atau tidak, risiko kematiannya sama. Memang ini belum final, tapi gambaran awal dari sekitar 500 pasien yang dikumpulan seperti itu," tutur dr Agus saat dihubungi detikcom, Jumat (5/6/2020).
Data tersebut diambil dari 10 daerah di Indonesia di antaranya Aceh, Banten, DKI Jakarta, Medan, Riau, Padang, Solo, Surabaya, Malang, dan Bali.
Menyoal ditariknya salah satu studi yang diterbitkan dalam jurnal medis terkemuka, The Lancet, berjudul 'Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19: a multinational registry analysis', dr Agus menyebut keputusan Indonesia sudah tepat tetap memberikan klorokuin pada pasien Corona.
"Berarti statement PDPI sudah benar tentunya bahwa kita tidak menyetop penggunaannya diluar Solidarity. Karena data yang ada di kami menunjukkan tidak adanya kenaikan risiko kematian dan tidak terlihat di pasien Indonesia," pungkas dr Agus.
Ini Alasannya Butuh 2 Suntikan Vaksin untuk Lawan Corona
Vaksin yang nantinya akan tersedia untuk melawan virus Corona COVID-19 mungkin dibutuhkan dua kali suntikan agar tubuh kebal. Keduanya kemungkinan diperlukan karena SARS-CoV-2 adalah virus baru yang tidak mengembangkan antibodi.
Suntikan pertama diberikan untuk membuat sistem kekebalan tubuh yang prima, agar membantunya mengenali virus yang masuk ke tubuh. Lalu, yang kedua dibutuhkan untuk menguatkan respon imun terhadap virus tersebut.
Ahli imunologi di The Harvard T.H. Chan School of Public Health di Boston, Barry Bloom, mengatakan hampir semua vaksin Corona yang ditunggu saat ini harus diberikan sebanyak dua kali.
"Sejauh yang saya ketahui, semua vaksin yang sedang dikembangkan saat ini dipertimbangkan akan diberikan sebanyak 2 kali," kata Bloom, yang dikutip dari USAToday, Jumat (5/6/2020).
"Mungkin pengecualian untuk vaksin Merck, yang diharapkan nantinya bisa melawan virus dengan satu dosis saja," lanjutnya.
Menurut kepala strategi koalisi Aksi Koordinasi Imunisasi, LJ Tan, kedua vaksin Corona itu nantinya diberikan secara terpisah. Mungkin perlu diberikan dengan jarak 1-2 bulan.
Saat suntikan pertama diberikan, sistem kekebalan tubuh akan bereaksi terhadap sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kemudian, sistem kekebalan akan memproses dan mengembangkan antibodi serta sel kekebalan.
"Jika suatu infeksi datang, imun tubuh akan melawannya. Hasilnya, kamu akan kebal dan tidak sakit," ungkapnya.
Namun, untuk beberapa patogen memang dibutuhkan suntikan kedua untuk mengatasinya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan sistem kekebalan tubuh yang prima untuk melawan infeksi.