Minggu, 22 Juni 2014

Merekrut Tanpa Harus Jadi Mata-mata Menakutkan di Sosial Media

Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, seorang teman memperkenalkan saya kepada pria yang tampan dan cerdas, dan tidak lama, saya akhirnya pergi kencan dengan pria itu.

Ketika itu kami sedang menikmati segelas anggur sebelum makan malam, dan tiba-tiba ia mengangkat sebuah topik mengenai Google, dan berkata demikian. "Luar biasa ya, teknologi membuat kita bisa mengetahui apa saja mengenai seseorang, misalnya apakah mereka pernah memenangkan lomba lari 5 km dengan catatan waktu kurang dari 30 menit".

Saat itu adalah tahun 2004, dan pria yang saya kencani tersebut berbicara mengenai lomba lari amal Susan G. Komen yang saya menangkan di tahun 1995.

Di mata saya, ia langsung berubah dari pria yang keren menjadi mata-mata yang menakutkan, dan saya ingin segera angkat kaki dari situ.

Saat ini, ada lebih dari 238 juta anggota LinkedIn yang terdaftar dari 200 negara serta wilayah. Facebook melaporkan bahwa pengguna aktifnya berjumlah 700 juta dalam perempat tahun kedua di 2013 ini.

Di bulan Maret, ketika Twitter berusia tujuh tahun, para penggunanya mengirimkan lebih dari 400 juta tweet per hari! Jejaring sosial sudah memperluas penggunanya dari sekelompok kecil pengguna awal (early adopters) menjadi sebuah masyarakat online, dan dengan cepat menjadi mainstream.

Sehubungan dengan rekrutmen, tentu saja perekrut ingin memanfaatkan sumber-sumber yang kaya akan informasi ini. Walau demikian, informasi mengenai kandidat yang didapat lewat jejaring sosial harus ditangani dengan hati-hati agar perekrut tidak dicap sebagai mata-mata.

Menurut artikel di Wired.com, biasanya perekrut menghabiskan empat hingga lima jam per hari di LinkedIn, dan menurut survei Bullhorn, 98,2% dari perekrut memanfaatkan jejaring sosial untuk perekrutan tenaga kerja di tahun 2012.

Walau demikian, tidak semua kandidat ada di LinkedIn, dan demikian juga sebaliknya, tidak semua kandidat berpendapat bahwa partisipasi mereka di jejaring sosial memiliki keterkaitan dengan pekerjaan.

Ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, sama halnya dengan kasus ‘pria baik-baik’ yang mendadak berubah menjadi mata-mata menakutkan setelah satu tegukan anggur.

Ini adalah lima tips yang bisa membantu Anda mengenal kandidat lebih jauh tanpa dianggap 'menguntit' mereka terlalu dekat.

1. Kenali obyektif Anda secara jelas.

Mengapa Anda menggunakan jejaring sosial untuk menggali informasi mengenai seorang kandidat? Apa perantara yang cocok untuk mencapai obyektif itu? Apakah Anda ingin memahami latar belakang kandidat, cara ia menulis, atau budaya yang ia miliki?

Jawaban atas semua pertanyaan itu akan berujung pada jalur jejaring sosial yang berbeda. Obyektif yang jelas juga akan membantu Anda menjawab apabila kandidat bertanya. “apa tujuan Anda melihat-lihat profil [situs jejaring sosial] saya?”

2. Pahami betul konteksnya.

Apa jejaring sosial yang cocok untuk rekrutmen yang Anda lakukan? Cocokkan dengan peran yang akan diisi oleh kandidat tersebut.

Jika Anda mencari kandidat untuk posisi tinggi di bidang marketing, mungkin Anda bisa mencari tahu kanal sosial apa saja yang mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan pelanggannya.

Di sisi lain, halaman Facebook dari seorang insinyur teknik kimia isinya mungkin tidak akan relevan dengan apa yang Anda cari.

3. Pertimbangkan aktivitas jejaring sosial kandidat.

Hanya karena Anda sudah menemukan profil LinkedIn dari seorang kandidat, bukan berarti bahwa ia adalah seorang pengguna aktif ataupun mengerti pengaturan privasi yang ada.

Seorang yang ahli dalam subyek tertentu di Twitter mungkin berharap bahwa Anda sudah melihat kontribusi mereka di jejaring sosial.

Kandidat dengan 12 koneksi LinkedIn dari perusahaan yang sama harus ditangani dengan cara berbeda dari seorang LinkedIn Open Networker (LION). Seorang

LION sangat terbuka dalam membuat koneksi di LinkedIn dan mungkin memiliki beberapa ratus atau ribu orang di dalam jaringan kontak mereka.

LION juga biasanya berharap Anda sudah melihat profil mereka. Lain halnya dengan kandidat yang memiliki aktivitas sedikit di jejaring sosial, Anda harus menanganinya secara lebih berhati-hati.

4. Ikuti perbincangan di dunia jejaring sosial.

Kita semua tahu bahwa berbicara secara langsung dengan seseorang, atau menatap matanya dan berdiri berhadapan, jauh lebih berharga daripada informasi yang didapatkan dari jejaring sosial manapun.

Ketika Anda berbicara langsung dengan kandidat, terutama ketika Anda mencoba untuk berbicara dengan kandidat yang kurang aktif, perhalus pembicaraan untuk meraba sebanyak apa informasi yang mereka mau berikan kepada Anda.

Walaupun Anda tergoda untuk mengeluarkan pertanyaan pamungkas, seperti “mengapa Anda berpindah kota tempat tinggal di tahun 2002 walau kondisi pasar sedang tidak mendukung?”, cukup berikan waktu sedikit, dan biarkan pembicaraan berkembang dengan sendirinya.

Dengan cara ini Anda bisa mendapatkan kepercayaan dari mereka dan tidak serta merta membuka sesi tanya jawab dengan pertanyaan yang membuat mereka merasa tidak nyaman.

5. Mengaculah pada ‘golden rule’.

Ketika dalam keraguan, lakukan apa yang Anda pikir orang lain akan lakukan kepada Anda. Golden Rule ini selalu bisa membuat Anda berada di posisi yang baik. Lihat dari sudut pandang mereka. Jika masih ragu, tanyakan kepada teman-teman atau rekan kerja seberapa jauh Anda boleh mengorek informasi.

Lebih baik bekerja berhati-hati daripada kandidat yang Anda sudah pelajari susah-susah melarikan diri karena ketakutan.



*) Penulis, Laura Schaulat merupakan Direktur Insight dan Strategi Konsumen Oracle yang berbasis di London, Inggris Raya. Ia juga memimpin strategi Human Capital Management Oracle di wilayah EMEA.

Sumber : http://inet.detik.com/read/2014/01/27/101334/2478878/398/5/merekrut-tanpa-harus-jadi-mata-mata-menakutkan-di-sosmed

Sabtu, 21 Juni 2014

Internet of Thing : Good or Evil

Bayangkan, sebuah skenario dimana saat kita bangun tidur dengan memulai ritual pagi di kamar mandi. Sesudahnya, toilet canggih kita secara otomatis menampilkan data kimiawi tubuh di kaca wastafel tempat kita menggosok gigi.

Lalu berdasarkan analisa historis jika ada yang tidak normal serta-merta menampilkan berbagai rekomendasi terkait diet makanan yang harus dikonsumsi, olahraga yang harus dilakukan, atau bahkan langsung menghubungi rumah sakit/dokter untuk membuat janji pemeriksaan jika dibutuhkan.

Sesudah berolahraga pagi sesuai petunjuk dari smartwatch yang memonitor aktivitas dan irama detak jantung, bel di pintu depan rumah berbunyi.

Petugas delivery dari supermarket langganan mengirimkan belanjaan kebutuhan sehari-hari yang ternyata sudah dipesan oleh kulkas kita malam sebelumnya. Tentu saja pembayarannya sudah dilakukan otomatis melalui kartu kredit/debit.

Selesai dengan semua rutinitas pagi hari, kita melangkah memasuki mobil. Dan cukup dengan perintah suara, mobil yang menggunakan teknologi autonomous driving akan membawa kita ke kantor.

Sementara kita membaca berita dan berinteraksi di media sosial melalui layar hologram yang diproyeksikan di kaca mata kita. Pagi yang sempurna.

Skenario diatas yang biasanya muncul di film-film scienfe fiction, bisa jadi akan menjadi pemandangan umum sebentar lagi. Perkembangan teknologi wearable devices, embedded chips dan komunikasi machine-to- machine (M2M) telah membuka jangkauan internet menjadi begitu luas.

Tidak lagi terbatas pada komputer atau tablet, tapi juga menjangkau semua perangkat yang memiliki embedded chips di dalamnya dan memiliki IP address. Inilah yang sering disebut-sebut dengan jargon: Internet of Things (IoT).

The Goods

Bagi masyarakat umum, kehadiran Internet of Things menjanjikan berbagai kemudahan. Tentu saja skenario bangun pagi di atas hanya sebagian kecil dari manfaat IoT. Dengan berbagai sensor yang tersebar mulai dari kendaraan, traffic light, gardu tol dan lain-lain yang dikontrol melalui Traffic Monitoring Center (TMC), memungkinkan lalu lintas yang bebas macet menjadi kenyataan.

Dari sisi perbankan, internet of things menjanjikan terwujudnya cashless society, karena transaksi keuangan akan beralih ke moda digital. Bahkan, mungkin kita tidak lagi perlu membawa berbagai kartu debit/kredit, karena berbagai informasi keuangan itu sudah ditanam di dalam chip di pergelangan tangan kita.

Pergerakan barang pun akan semakin efisien, karena proses sejak barang datang di pelabuhan, proses bongkar muat hingga pengiriman ke tujuan akan termonitor dengan presisi. Konsekuensi logisnya, biaya logistik akan turun dan dalam skala besar tentu akan meningkatkan daya saing ekonomi kita.

Dari sisi keamanan, internet of things juga menjanjikan banyak hal. Para residivis misalnya bisa di-tag dengan chip khusus, demikian juga dengan para predator seks, sehingga aparat keamanan bisa memonitor pergerakan mereka ini dan melakukan intervensi jika diperlukan.

Mencegah tentu lebih baik dari pada mengobati, prinsip itu bisa menjadi kredo utama dalam peningkatan rasa aman masyarakat. Masih banyak lagi kemudahan-kemudahan yang dijanjikan oleh hadirnya internet of things dalam kehidupan kita ini nantinya


The Evil

Namun selain berbagai kemudahan yang dijanjikan, kita juga wajib mewaspadai resiko yang menyertai Internet of Things ini, setidaknya ada tiga resiko besar, yaitu:

1. Privacy Intrusion

Dengan berbagai embedded device yang menyertai hidup kita yang terus menerus mengirimkan data melalui internet tentang segala aktivitas kita, menjadikan diri kita bagai 'buku terbuka' bagi banyak pihak yang mungkin punya kepentingan.

Contoh kecil saja, melalui analisa terhadap perilaku posting kita di media sosial, Facebook atau Google bisa menyimpulkan preferensi kita, lalu menawarkan iklan yang sudah di personalisasi di laman yang sedang kita lihat.

Jadi bayangkan apa yang bisa ditawarkan jika seluruh data terkait aktivitas kita sejak bangun tidur hingga tidur lagi terekspos di internet. Bahkan data pola tidur kita pun bisa dianalisa untuk menjadi bahan jualan pihak lain.

2. Security

Kita tentu masih ingat dengan virus stuxnet, yang melalui jaringan internet bisa mencari reaktor nuklir Iran untuk kemudian menginfeksinya. Dengan keterhubungan yang jauh lebih luas tentu akan menjadi ladang untuk munculnya virus/worm semacam itu, yang mungkin targetnya bisa jadi personal.

Pembunuhan mungkin bukan lagi dilakukan oleh kriminal bersenjata, tapi bisa jadi oleh seorang hacker yang masuk ke dalam sistem autonomous mobil targetnya, lalu membuat remnya tidak berfungsi atau mengacaukan sistem elektriknya.

3. Too many complexities

Dengan sistem yang belum terlalu online seperti sekarang, kegagalan di satu sistem bisa kita isolasi untuk tidak langsung berpengaruh kepada sistem lain. Tetapi di dalam sistem yang saling terhubung dan saling tergantung, maka kegagalan di satu sistem akan memicu reaksi berantai yang sifatnya bisa katastrofik. Atau misalnya ada gangguan catuan listrik untuk satu daerah tertentu, akan sangat mungkin mengganggu sistem dalam jangkauan luas wilayah yang jauh lebih luas.

Internet of Things menjanjikan hal-hal yang luar biasa, lebih besar dari social network, yang mungkin bisa menjadi evolusi lebih lanjut dari kehidupan kita sebagai umat manusia.

Dan seperti juga kehadiran internet 20 tahun lalu, Internet of Things akan menjadi gelombang yang tidak bisa ditahan yang pada akhirnya akan kembali kepada kita bagaimana meregulasi dan memanfaatkanya dengan bertanggung jawab sehingga resikonya bisa diminimalkan dan manfaatnya bisa dimaksimalkan.

Atau seperti sering disebut dalam film superhero: 'Great power comes with Great Responsibilities'.


*) Penulis, Mochamad James Falahuddin sehari-harinya merupakan praktisi di bisnis telematika. Bisa dihubungi melalui akun twitter @mjamesf.


Sumber : http://inet.detik.com/read/2014/05/20/121722/2586949/398/4/internet-of-things-good-or-evil