Masjid ini merupakan salah satu bangunan tercantik di Malaysia dengan mengambil arsitektur Bangsa Moor yang dirancang oleh Arthur B. Hubback, arsitek yang juga turut merancang Stasiun Keretaapi Ipoh dan KL. Sayangnya Sultan Idris keburu wafat sebelum sempat meresmikan masjid tersebut karena baru selesai tahun 1917, setahun setelah meninggalnya beliau. Masjidnya sendiri tak terlalu besar, namun seni arsitekturnya tampak indah seperti mutiara di tengah gurun pasir. Warna bangunan didominasi putih yang mengkilap terkena sinar matahari, lalu kubahnya mengingatkan kita pada cerita Abunawas di Baghdad.
Walau cuaca panas, di dalamnya terasa sejuk karena tidak seluruh cahaya dapat menembus bagian dalam bangunan sehingga tampak agak gelap di dalam. Di sebelah masjid terdapat bangunan tua yang merupakan tempat tinggal istri putra mahkota saat itu, Raja Kecil Harun AL Rashid tahun 1912 dan disebut Baitul Anor. Sayang bangunan ini kurang terawat dengan baik dan tak terlalu diperhatikan oleh para wisatawan yang lebih tertarik mengunjungi masjid.
Setelah selesai melihat-lihat masjid, perjalanan dilanjutkan ke dalam kompleks istana. Tak jauh dari masjid tampak gerbang utama istana yang tertutup rapat dan di sisi kiri kanan gerbang terdapat jalan yang mengelilingi istana, sementara raja dan keluarganya masuk dari pintu belakang istana. Istananya sendiri diberi nama Istana Iskandariah, diambil dari nama sultan yang membangun istana tersebut yaitu Sultan Iskandar Shah yang berkuasa antara 1918-1938.
Saya sendiri tak boleh masuk ke dalam istana walau dari pintu belakang dan hanya bisa mengambil foto dari gerbang belakang saja. Sementara bangunan utamanya terhalang bukit dan pepohonan sehingga tidak bisa diambil gambarnya. Uniknya tidak tampak tentara atau polisi berkeliaran, hanya ada dua orang petugas jaga saja yang tampak di pos jaga, padahal ini istana kerajaan lho. Bandingkan dengan rumah dinas gubernur atau bupati yang dijaga ketat oleh Satpol PP.
Agak sedikit ke belakang terdapat Musium Diraja Perak yang dahulunya disebut sebagai Istana Kenangan. Uniknya bangunan museum yang dibangun tahun 1926 ini seluruhnya terbuat dari kayu oleh seorang tukang kayu bernama Haji Sopian dan dibangun sebagai hunian sementara Raja Iskandar karena saat itu sedang membangun istana yang sekarang ditempati oleh Raja Perak.
Sayangnya saat saya berkunjung sedang direnovasi karena kayu-kayunya sudah mulai lapuk, padahal bentuk aslinya bagus sekali saat mengintip di internet dengan dominasi warna kuning dan coklat khas kayu. Setelah satu jam lebih berpusing-pusing ria di kompleks istana, saya kembali ke arah terminal bis agar argo taksinya tidak bertambah. Karena kotanya kecil, saya selesaikan dengan berjalan kaki saja sambil menunggu bis yang akan mengantar saya kembali ke KL.
Tak banyak obyek menarik lain, hanya ada gereja tua di sudut perempatan dekat terminal, Masjid Raya Ridzwaniah Kuala Kangsar, serta bangunan sekolah serta rumah sakit tua yang pertama kali didirikan di kota tersebut. Pilihan raja untuk tinggal di kota tersebut memang tepat karena kotanya tidak terlalu besar dan cukup sunyi. Suasana kotanya cukup nyaman walau terasa panas karena terletak di lembah pegunungan Titiwangsa yang menjulur di sepanjang semenanjung Malaya.
Tepatlah bila Kuala Kangsar dijuluki The Royal Town atau kota para raja.