Jumat, 04 Desember 2020

Peneliti Tak Setuju Revisi Aturan Ganja di Indonesia, Ini Alasannya

 PBB merestui ganja untuk penggunaan medis berdasarkan rekomendasi WHO Januari 2019 lalu dan hasil voting. Indonesia disebut memiliki peluang terkait pengembangan penelitian ganja medis meskipun sangat terbatas.

Hal ini diungkap peneliti dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balitbangtan, Dr Evi Savitri. Ia menyebut penelitian terkait manfaat ganja untuk medis sebenarnya telah ada sejak lama.


"Untuk pengembangan medis masih ada peluang selama itu dilakukan oleh lembaga yang memang kompeten memperoleh izin untuk melakukan kegiatan penelitian," jelas Dr Evi saat dihubungi detikcom Jumat (4/12/2020).


Perlukah langsung merevisi aturan ganja menyusul persetujuan PBB?

Dr Evi menilai aturan terkait ganja yang diterapkan di Indonesia saat ini sudah cukup. Aturan yang berlaku masih menggolongkan ganja sebagai narkotika golongan 1, tetapi ia menyarankan agar penelitian terkait ganja tetap dibuka.


"Menurut saya dengan peraturan yang ada sekarang bahwa itu golongan 1 itu sudah cukup tetapi dan ada aturan boleh untuk medis dalam skala yang sangat terbatas dan terdaftar itu ya tetap saja berjalan," ungkapnya.


Ia meminta untuk tidak terlalu terburu-buru merevisi aturan yang ada, karena banyak tanaman lain selain ganja yang bisa dijadikan obat. Dalam hal ini, ia menyoroti efek samping yang bisa memicu ketergantungan jika tidak mengetahui batasan penggunaan ganja.


"Saya bilang sih dengan yang ada sekarang sebenarnya sudah memfasilitasi itu kok penelitiannya tetap ada, berjalan, pemanfaatannya, walaupun amat sangat sangat terbatas," katanya.


"Dokter yang tahu kapan mereka bisa memanfaatkan itu, menggunakan itu ke pasiennya, dan tentu saja juga mungkin sediaan yang diberikan ke pasien tidak otomatis ganja yang seperti dikonsumsi masyarakat, yang mereka gunakan pasti sudah diisolasi," pungkasnya.

https://cinemamovie28.com/movies/tom-segura-mostly-stories/


Studi Golongan Darah soal Risiko COVID-19, Ini yang Paling Rentan hingga Kebal


Virus Corona COVID-19 hingga kini masih diteliti oleh sejumlah ilmuwan di dunia. Salah satu yang diteliti adalah golongan darah disebut dapat mempengaruhi tingkat risiko infeksi COVID-19.

Dari sejumlah penelitian yang ada, disebutkan bahwa golongan darah O yang paling kecil risikonya terhadap infeksi COVID-19. Sementara golongan darah A menjadi yang paling rentan terhadap virus Corona.


Apakah benar begitu? Dirangkum detikcom, berikut berbagai penelitian tentang kaitan golongan darah dengan risiko infeksi COVID-19.


Golongan darah A

Studi di China menyebut golongan darah A lebih rentan terinfeksi COVID-19, dibandingkan dengan golongan darah tipe lain. Studi ini dilakukan pada 2.173 pasien Corona di Wuhan dan Shenzhen.


Dalam studi tersebut juga dilaporkan, pasien Corona dengan golongan darah A lebih rentan mengembangkan gejala COVID-19 yang lebih parah. Dari 206 pasien yang meninggal karena COVID-19 di Wuhan, 85 di antaranya memiliki golongan darah A.


"Orang-orang dari golongan darah A mungkin perlu memperkuat perlindungan pribadi untuk mengurangi kemungkinan terinfeksi," tulis para peneliti yang dipimpin oleh Wang Xinghuan, dikutip dari South China Morning Post.


Mereka menambahkan, pasien Corona dengan golongan darah A perlu menerima perawatan yang lebih ketat dan perawatan yang jauh lebih intensif.


Studi ini pun telah diterbitkan di MedRxiv.org pada 11 Maret lalu.

https://cinemamovie28.com/movies/twivortiare/

Dari Bed ICU, Dokter Positif Corona di Solo Ajak Eks Pasien Donorkan Plasma

 Seorang dokter kulit dan kelamin di Solo, dr Khairul Hadi, SpKK, tengah berjuang melawan infeksi virus Corona yang diidapnya. Ia kini tengah dirawat ruang ICU di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Moewardi Solo.

Lewat video berdurasi lebih dari satu menit, dr Hadi ini menceritakan bahwa dirinya sudah mendapatkan terapi plasma konvalesen lima hari yang lalu. Kondisinya membaik setelah mendapat terapi tersebut meski masih harus menggunakan pompa oksigen ke paru-paru.


"Saya sudah mendapatkan terapi plasma konvalesen dua kantong, lima hari yang lalu. Rasanya setelah mendapatkan terapi konvalesen plasma, kondisi sata langsung mengalami cukup perbaikan, meskipun belum sembuh total," katanya dalam video tersebut yang diterima detikcom pada Jumat (4/12/2020).


dr Hadi yang juga merupakan dokter spesialis kulit dan kelamin ini meminta agar lebih banyak pasien Corona sembuh yang mendonorkan darahnya.


"Kalau teknologi plasma ini ditingkatkan, diolah sedemikian maka tidak perlu vaksinasi yang efektivitas vaksin cuma 1 - 1,5 tahun itu... Katakanlah yang sembuh dari COVID-19 di Indonesia ada 450 ribu orang ini didonor semua tiap bulan, maka plasmanya sudah bisa untuk membuat orang lain kebal COVID-19, sangat luar biasa," jelas dr Hadi.

https://cinemamovie28.com/movies/pokemon-mewtwo-strikes-back-evolution/


Peneliti Tak Setuju Revisi Aturan Ganja di Indonesia, Ini Alasannya


 PBB merestui ganja untuk penggunaan medis berdasarkan rekomendasi WHO Januari 2019 lalu dan hasil voting. Indonesia disebut memiliki peluang terkait pengembangan penelitian ganja medis meskipun sangat terbatas.

Hal ini diungkap peneliti dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balitbangtan, Dr Evi Savitri. Ia menyebut penelitian terkait manfaat ganja untuk medis sebenarnya telah ada sejak lama.


"Untuk pengembangan medis masih ada peluang selama itu dilakukan oleh lembaga yang memang kompeten memperoleh izin untuk melakukan kegiatan penelitian," jelas Dr Evi saat dihubungi detikcom Jumat (4/12/2020).


Perlukah langsung merevisi aturan ganja menyusul persetujuan PBB?

Dr Evi menilai aturan terkait ganja yang diterapkan di Indonesia saat ini sudah cukup. Aturan yang berlaku masih menggolongkan ganja sebagai narkotika golongan 1, tetapi ia menyarankan agar penelitian terkait ganja tetap dibuka.


"Menurut saya dengan peraturan yang ada sekarang bahwa itu golongan 1 itu sudah cukup tetapi dan ada aturan boleh untuk medis dalam skala yang sangat terbatas dan terdaftar itu ya tetap saja berjalan," ungkapnya.


Ia meminta untuk tidak terlalu terburu-buru merevisi aturan yang ada, karena banyak tanaman lain selain ganja yang bisa dijadikan obat. Dalam hal ini, ia menyoroti efek samping yang bisa memicu ketergantungan jika tidak mengetahui batasan penggunaan ganja.


"Saya bilang sih dengan yang ada sekarang sebenarnya sudah memfasilitasi itu kok penelitiannya tetap ada, berjalan, pemanfaatannya, walaupun amat sangat sangat terbatas," katanya.


"Dokter yang tahu kapan mereka bisa memanfaatkan itu, menggunakan itu ke pasiennya, dan tentu saja juga mungkin sediaan yang diberikan ke pasien tidak otomatis ganja yang seperti dikonsumsi masyarakat, yang mereka gunakan pasti sudah diisolasi," pungkasnya.

https://cinemamovie28.com/movies/my-stupid-boss-2/