Sejarahnya, dulu terdapat sultan pertama yang mendeklarasikan sistem pemerintahan yang diubah menjadi Islam dari Hindu, yakni Nata Muhammad Syamsuddin Sa'adul Khiriwaddin. Sultan pertama ini bukan berarti yang pertama masuk Islam di Sintang, karena ada ayahnya yang lebih dulu masuk Islam, namun masih menggunakan sistem pemerintahan Hindu.
"Itu tepatnya pada Senin 12 Muharram 1083 H atau 1672 M. Sultan Nata ini adalah anak dari salah seorang raja, raja ini sudah masuk islam tapi kerajaannya masih memakai sistem hindu. Kemudian pangkat kakeknya juga sekitar tahun 1600-an sudah masuk Islam tapi masih sistem hindu. Baru lah pada zaman sultan Nata ini mendeklarasikan menjadi tata cara Islam. Meski begitu tidak meninggalkan seluruhnya tata cara hindu seluruhnya," ujarnya.
"Kalau kita lihat, deklarasi tersebut pertama dicetuskan saat raja menggunakan gelar sultan, kemudian membuat undang-undang berdasarkan syara dan syara berdasarkan Kitabullah. Kemudian mengangkat menteri sekaligus membangun fasilitas ibadah masjid," tambahnya.
Masjid yang dibangun pada 1672 oleh Sultan Nata ini diberi nama resmi dari Pemerintah Kabupaten Sintang dengan sebutan Masjid Jamik Sultan Nata Sintang pada 1987. Saat ini, Masjid Jami Sultan Nata merupakan masjid tertua di Kabupaten Sintang.
Setelah Sultan Nata, lanjut Ade, ada yang namanya Sultan Abdurrahman. Dalam masa ini dilakukan ekspansi penyebaran agama islam ke wilayah timur. Dalam sebuah catatan sejarah milik pangeran sekitar 1824, bahwa ada kerajaan kecil di wilayah timur Kalimantan Barat.
"Islam di Sintang ini, awalnya sebelum masuknya Belanda itu lebih kental dengan gelar gelar berbau muslim. Perkembangan Islam di Sintang ini juga mengalami pasang surut," ujarnya.
Selain masjid dan istana, terdapat juga makam-makam kerajaan yang memang terus turun temurun. Setiap ada keluarga dari raja, maka akan dimakamkan di komplek pemakaman tersebut. Namun sayang, pengelolaan pemakaman raja-raja ini masih belum terlalu banyak mendapat perhatian.
"Pemakaman raja ini, kalau boleh dilihat ada beberapa makam yang belum yang mendapat perhatian. Kemudian, perawatannya sepertinya kurang rutin dilakukan. Dan ada beberapa makam yang sedianya, kalau berdasarkan kedudukannya seharusnya mendapat perhatian malah tidak," ujarnya.
"Setiap makam-makam ini memiliki catatan sejarahnya sendiri-sendiri. Kalau makam ini sekitar ratusan, kalau rajanya sendiri ada sekitar lebih dari 10 raja di daerah sini. Ini lokasinya di seberang keraton tadi, di antara persimpangan sungai," ujarnya.
Menurut Ade, sebenarnya sisa-sisa peninggalan kerajaan ini masih banyak. Namun, kondisinya tersebar di keluarga-keluarga keturunan raja.
"Sebenarnya peninggalan kerajaan ini banyak sekali. Tersimpan dan tersebar di keluarga. Karena keluarga ini memiliki masing-masing memiliki peninggalannya. Kondisi hari ini, di Sintang ini sebetulnya baru pada 2006 dilakukan penobatan kesultanan. Tapi kondisinya berbeda dengan kerajaan dulu. Karena wewenangnya lebih kepada menjaga kelestarian peninggalan kerajaan saja," pungkasnya.
Sebagai informasi, saat ini Istana Al-mukarramah Kesultanan Sintang dipimpin oleh HRM Ikhsani Perdana Ismail Tsafioeddin, yang bergelar Pangeran Ratu Sri Kesuma Negara V yang telah dinobatkan sebagai Sultan Sintang ke-30. Untuk mengetahui informasi lainnya dari Kemendes PDTT klik di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar