Walaupun gagal melihat sunset di Bagan, kami bertemu banyak orang baik di sini. Penginapan yang sangat bagus dengan harga murah, dan ketenangan yang menyenangkan di Bagan. Saya pastikan akan kembali ke kota ini, untuk bulan madu mungkin? Membayangkanya saja sudah indah, bersepeda mengelilingi kota tua Bagan, sambil menyaksikan sunset dari antara pagoda-pagoda tua disini.
Belum puas kami di sini, kami sudah harus melanjutkan perjalanan ke kota Mandalay. Kota ini merupakan kota terbesar kedua setelah Yangon. Perjalanan di kota ini masih sama, seputar pagoda, namun yang tidak kalah menarik dari kota ini adalah adanya kerajaan yang disebut sebagai kerajaan terakhir di Myanmar, kami tidak sempat memasuki kerajaan karena keterbatasan waktu dan mahalnya harga tiket. Namun kami tidak lupa mengabadikan momen kami di depan gerbang kerajaan. Kerajaan ini dikelilingi oleh sungai buatan yang dulunya digunakan untuk melindungi komplek kerajaan didalamnya.
Rasanya tak lengkap berlibur tanpa mencoba pakaian adat lokal. Saya pun membeli Kain panjang sejenis sarung (Long Yi) yang kerap kali digunakan oleh masyarakat sekitar. Alhasil foto-foto saya menjadi lebih kental dengan budaya Myanmar, indah bukan.
Di Mandalay banyak sekali tempat indah yang saya kunjungi, Salah satunya adalah Hsinbyume pagoda. Seluruh bagunan pagoda berwarna putih bersih dan terdapat ornamen emas di puncaknya. Jangan sampai melewatkan pagoda satu ini apabila Anda berkunjung ke Mandalay.
Tidak lupa pula kami mengunjungi jembatan legendaris Amartapura untuk menyaksikan sunset di Mandalay. Jembatan ini dibangun menggunakan rangka kayu yang ditanam diatas sungai. Yang membuat unik adalah, jembatan dibangun tanpa tangan atau pinggiran untuk para warga dan wisatawan berpegangan. Bagian bawah jembatan pun hanya dipaku seadanya dengan renggang, sehingga kami bisa melihat sungai di bawahnya melalui celah-celah kayu, mengerikan sekali bukan.
Selama melewati jembatan ini saya hanya bisa berdoa agar tidak roboh, mengingat saya berdiri di atasnya bersama ribuan wisatawan lainya yang juga sedang mengejar senja. Setelah sukses melewati jembatan Amartapura, kami disuguhkan pemandangan sunset yang menyelip diantara rangka jembatan. Sudah banyak wisatawan yang memenuhi spot untuk mendapatkan pemandangan terbaik. Sebelum kami meninggalkan Mandalay, ada hal menarik terjadi sebelum berpisah dengan supir taksi yang telah mengantarkan kami selama dua hari di kota ini. Berat sekali rasanya hati kami berpisah dengan Do Gyi (Soleh). Walau dengan bahasa Inggris yang sama-sama minim, kami bisa tetap bersenda gurau selama perjalanan. Kami juga saling mengajarkan bahasa masing-masing seperti Aku cinta kamu, selamat pagi dan sebagainya. Musik dangdut di Myanmar rupanya lumayan terkenal, terbukti Do Gyi bisa menggumamkan lagu Cita Citata dan Via Valen, lucu sekali bukan. Baru pertama kali saya meneteskan air mata ketika berpisah dengan orang asing. Mungkin karena usia kami yang tidak terpaut jauh kami dapat dengan mudahnya menjadi akrab. Sampai bertemu lagi Do Gyi.
Bicara mengenai Kuliner di Myanmar, berikut beberapa santapan yang saya rekomendasikan untuk dicoba. Semua makanan ini enak dan cocok di lidah saya. Tidak cukup banyak makanan yang kami coba di Myanmar. Apabila anda membeli teh di Myanmar, anda akan disuguhkan teh yang sudah dicampur susu atau disebut lapheye (lafeye). Teh disajikan di gelas kecil berwarna putih. Rasanya jangan diragukan lagi, harum dan enak. Aromanya harumnya sedikit berbeda dari teh susu khas Thailand, saya lebih menyukai aroma teh susu Myanmar ini. Jangan lupa untuk mencicipi mie ayam khas Myanmar atau disebut Shan Noodle, salad daun teh dan Roti (sejenis roti canai yang disajikan dengan teh lapheye).
Kota terakhir yang kami jelajahi sebelum meninggalkan Myanmar adalah Yangon. Salah satu tempat yang meninggalkan impresi mendalam bagi saya adalah kawasan Shwedagon Pagoda! Tempat ini sungguh menakjubkan. Letaknya diatas bukit Singutara, kita dapat menggunakan eskalator untuk mencapai puncak bukit. Bangunan utamanya adalah Pagoda Shwedagon yang berlapis emas setinggi kurang lebih 100 meter dan berusia 2500 tahun. Sekeliling pagoda ini dipenuhi banyak kuil dan pagoda kecil yang tak terhitung jumlahnya. Saya melihatnya seperti sebuah kota yang berisikan pagoda. Saya hanya mampu berdecak kagum memikirkan bagiamana bangunan-bangunan sebanyak itu dibangun. Jangan melewatkan tempat ini apabila anda berkunjung ke Yangon. Di sekitara kuli juga tersedia banyak toko yang menjual suvenir, bunga, atau perlengkapan beribadah apabila anda memerlukannya. Sayangnya waktu kami berkunjung, sebagian besar wilayah Shwedagon sedang direnovasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar