Kamis, 26 Desember 2019

Pesona Myanmar, Negeri Seribu Pagoda

Myanmar sering luput dari perhatian traveler. Padahal Negeri Seribu Pagoda ini punya banyak pesona.

Myanmar mungkin sedikit jarang kita temukan di blog-blog atau vlog travelling kekinian. Mengingat negara ini tidak begitu unggul di bidang pariwisata seperti tetangganya Thailand. Awalnya pun saya ragu Myanmar akan menjadi negara yang meninggalkan impresi mendalam bagi saya, yah hitung-hitung pemenuhan target kunjungan negara ASEAN saya, mengingat baru 3 negara di Asean yang pernah saya kunjungi. Namun percayalah Bagan dan teman-temannya akan membuat Anda tak mampu berkata-kata.

Tak terpikirkan pula bahwa telapak kaki saya akan menjadi sehalus ini. Ya, telapak kaki saya perlahan terkikis lantai marmer dan batu dari Pagoda yang tak terhitung jumlahnya. Sedikit menyakitkan, tapi saya anggap sebagai harga dari suatu pengalaman. Tiap saya merasakan sakit di telapak saya, di situ pula saya mengingat keindahan Negeri Seribu Pagoda tersebut.

Tiga kota saya kunjungi selama lima hari menetap di Myanmar, Yangon-Bagan-Mandalay. Tiga kota tersebut merupakan destinasi favorit bagi wisatawan-wisatawan mancanegara bersamaan dengan Danau Inle yang sayangnya belum sempat kami kunjungi. Rute berbukit-bukit dan lamanya waktu tempuh mengurungkan niat saya dan rekan-rekan saya. Padahal kami sangat ingin menyaksikan cara nelayan tradisional Inle mengoperasikan perahu mereka menggunakan kaki, unik dan menakjubkan, dengan lihainya mereka menggerakan perahu menggunakan dayung yang dikendalikan oleh kaki.

Saya dan rekan-rekan mendarat di Yangon kira-kira pukul 10 pagi. Setelah menyelesaikan urusan administrasi masuk dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, kami berkeliling Kota Yangon menggunakan taksi. Jangan salah, taksi kami ini merupakan taksi harian, per delapan jam kira-kira menghabiskan Rp 300 ribuan. Lumayan menguntungkan bagi kami untuk beradaptasi di kota asing ini. Hari pertama sebagian besar kami habiskan berkeliling menggunakan taksi saja tanpa turun mengunjungi objek wisata, rencana kami hari kelima baru akan mengeksplorasi kota Yangon.

Alih-alih menginap di Yangon, menjelang pukul 8 malam taksi kami mengantarkan kami ke terminal bus. Yap! Kami akan bermalam di bus malam menuju destinasi kami selanjutnya, Bagan. Menyenangkan sekali bukan? Tidur di kendaraan adalah hal yang sangat menyenangkan bagi saya, entah kenapa saya selalu bisa tidur dengan nyenyak.  Karena itu, momen-momen dimana kami bermalam di bus sangatlah menenangkan dan ingin selalu saya ulangi. Harga bus eksekutif dari Yangon ke bagan sekitar 180 ribu rupiah. Kami memesannya jauh-jauh hari menggunakan aplikasi. Apabila kehabisan bus eksekutif, tak perlu risau, karena bus malam ekonomi di Myanmar sudah cukup nyaman untuk perjalanan panjang.

Sepanjang perjalanan saya menyaksikan pemandangan alam dan kehidupan masyarakat lokal. Tidak jauh berbeda saya rasa kondisi masyarakat Myanmar dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, sebagian besar masih hidup dengan sederhana. Hampir 70% masyarakat Myanmar berprofesi sebagai Biksu/Biksuni. Biksu tidak boleh bekerja untuk menghasilkan uang, itulah mengapa mereka mengandalkan sumbangan-sumbangan warga sekitar. Mungkin itulah penyebab pendapatan perkapita Myanmar masih rendah. Batin saya sok tahu. Kami selalu disambut ramah oleh para biksu disini.

Pagi hari sekitar pukul 04.30 kami sampai di Bagan. Kota Bagan terbagi menjadi Old Bagan dan New bagan. Kota Bagan merupakan kawasan budaya yang dilindungi oleh pemerintah. Terdapat ribuan pagoda dalam kawasan yang dilindungi pemerintah ini. Untuk tiket masuk Old Bagan, saya lupa tepatnya, namun kita dikenai biaya cukup mahal dari perkiraan kami untuk 5-day-pass tiket. Bila kita beruntung, kita dapat menyaksikan sunrise yang dipadukan dengan balon-balon udara di sekeliling kota Bagan. Sayangnya percobaan pencarian sunrise dan sunset yang digadang-gadang sebagai yang terbaik di dunia gagal. Dua hari kami di Bagan mendung.

Di Bagan kami bertemu banyak anak kecil menjual hasil karya mereka. Sampai sekarang masih tersimpan rapi postcard yang saya beli dari anak-anak ini, harganya pun murah, 1.000 kyat untuk 10 postcard. Kebanyakan masyarakat Myanmar menggunakan bedak dingin (thanaka) di pipi mereka. Bedak thanaka dipercaya mempunyai khasiat yang bagus untuk kecantikan. Ini foto saya bersama mereka. Lucu bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar