Sabtu, 25 Januari 2020

Hachiko, Lambang Kesetiaan yang Mendunia

Jalan-jalan di Shibuya, Tokyo ada patung Hachiko yang terkenal. Inilah suatu lambang kesetiaan yang mendunia.

Terletak di sebuah sudut Shibuya, tepatnya dekat Stasiun Shibuya dan Shibuya Crossing, berdirilah sebuah patung anjing yang dikenal dengan nama Patung Hachiko.

Hachiko merupakan seekor anjing yang diadopsi oleh Professor Eizaburo Ueno yang bekerja di Tokyo Imperial University di Akita pada awal tahun 1920an. Setiap harinya Hachiko menemani tuannya ke stasiun Shibuya, begitu juga Hachiko akan menunggu tuannya di sore hari saat kembali bekerja pada pukul 3 sore.

Ketika sang profesor meninggal pada tahun 1925 saat berada di universitas dan tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada anjing kesayangannya, Hachiko tetap menunggu tuannya di stasiun hingga 10 tahun setelah kematiannya. Hingga akhirnya Hachiko pun sampai di akhir hayatnya, hewan setia ini dikremasi dan dikubur di sebelah tuannya.

Meskipun tubuhnya dikremasi, untuk mengenangnya, bulu Hachiko disimpan dan dipamerkan di National Museum and Science di Taman Ueno, Tokyo. Cerita mengharukan ini kemudian menjadi legenda dan menjadi awal didirikannya patung ini di dekat Stasiun Shibuya.

Wisatawan yang berkunjung ke Tokyo pada umumnya akan menyempatkan waktu untuk melihat patung ini. Jadi jangan heran jika ingin berfoto di sini, harus rela mengantri karena tempat ini tak pernah sepi pengunjung. Tempat ini juga seringkali menjadi meeting point terutama bagi para wisatawan karena mudah dikenali.

Cerita Rumah Pohon dan Gajah Mematikan

Siapa yang tak suka rumah pohon? Itulah impian sebagian anak pada masa kecil bahkan hingga dewasa. Tapi, tidak dengan rumah pohon ini.

Inilah cerita yang dialami Than Shin. Ia menggendong cucunya di bawah rumah pohon keluarga di Kyar Chaung, sebuah desa kecil di daerah pedesaan Myanmar, melansir Reuters, Sabtu (25/5/2019).

Bagi sebagian orang, rumah pohon terdengar mengasyikkan. Tetapi bagi penduduk Kyar Chaung, berjarak 64 km di utara Yangon, itu untuk menghindari serangan gajah liar yang mematikan.

Seekor gajah bergerak melalui semak belukar di hutan di sekitar Kyar Chaung. Pada tahun 2014, orang-orang hidup dalam ketakutan setelah gajah mulai menyerang manusia sekitar 15 tahun yang lalu.

Setiap tahun, rata-rata tujuh orang meninggal akibat serangan gajah, menurut departemen kehutanan pemerintah. Sebagian besar keluarga di desa memiliki dua rumah, satu di tanah untuk tempat mereka tinggal di siang hari dan satu di pohon di mana mereka berlindung dari gajah di malam hari.

Penduduk desa mengatakan gajah mendekati rumah mereka karena mereka tidak dapat menemukan cukup makanan di habitat alami mereka. Alasannya, hutan telah rusak oleh deforestasi (penggundulan hutan).

"Suatu malam, ketika kami sedang tidur, kami mendengar suara tabrakan yang keras. Saya tahu itu adalah 'Bo-Taw' (gajah). Saya terkejut ketika saya menemukan belalainya sudah mengangkat kantong beras kami. Saya hanya berlari dan berlari. Untungnya, tidak ada anggota keluarganya yang terluka malam itu," kata istri kepala desa.

Lima desa tetangga lainnya dalam radius 11 kilometer telah diteror oleh gajah selama 16 tahun. Penduduk desa menanam padi, jagung, tebu, pisang, dan tanaman lain sebagai mata pencaharian.

Rumah-rumah mereka tersebar, ada yang di sawah, di ladang pisang, di ladang jagung. Semua tanaman ini adalah santapan lezat untuk gajah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar