Di tengah ketidakpastian global yang disebabkan oleh virus korona baru (COVID-19), korporasi di seluruh dunia mengambil kendali atas masa depan mereka sendiri. Mereka secara aktif mencari dan menangkap peluang bisnis baru sambil membentuk model operasi baru dan cara kerja baru.
Akselerasi transformasi digital selama pandemi mendorong perusahaan untuk melampaui batas-batas tradisional untuk menciptakan pasar yang sama sekali baru, serta penawaran nilai baru untuk pelanggan. Produk, layanan, dan cara perusahaan menjalankan bisnis berkembang dengan sangat cepat.
Terlepas dari dampak sosial dan ekonomi, krisis selalu melahirkan dunia baru dengan pemain serta pemimpin industri baru. Pandemi SARS yang dimulai pada tahun 2002 menjadi katalisator pertumbuhan meteorik dari sebuah perusahaan e-commerce kecil bernama Ali Baba menjadi pemain utama ritel online di Asia.
Krisis keuangan tahun 2008 memberi jalan bagi Airbnb dan Uber untuk berkembang di negara-begara barat karena krisis subprima (subprime crisis) berdampak pada tabungan dan pendapatan yang lebih rendah bagi masyarakat disana.
Hari ini sejarah berulang kembali. Maka pertanyaan terpenting saat ini adalah, kita akan jadi seperti apa di Dunia Pasca COVID-19 nanti?
"Kami berharap Asia Corporate Innovation Summit 2020 (ACIS 2020) akan dapat membantu para pelaku industri di Asia dalam menemukan strategi konkret untuk melewati pandemi dan mempercepat upaya mereka untuk memulihkan kinerja dan menciptakan masa depan perusahaan," begitu ungkap Indrawan Nugroho, CEO dan Co-founder CIAS yang juga berperan sebagai Chairman dari ACIS 2020.
ACIS 2020 diselenggarakan secara online di atas platform Hopin dari tanggal 24 hingga 26 November
2020. Event tahunan kali ini diikuti oleh 1541 peserta yang datang dari berbagai negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, India, Pakistan, Sudan, Australia, Italia, Jerman, Inggris, Polandia, Swedia, Amerika dan Kanada.
ACIS 2020 menghadirkan 18 pembicara kelas dunia, diantaranya Amit N. Kar, Director, Global Pursuits EMEA at AVEVA; Eng Teng Wong, Chief Revenue Ecosystem Implementation at Prudential Services Asia; Derek Williamson, former Vice President of Retail Sales at Siam City Cement; Lendi Yuwarlian, Innovation and Brand Lead at Nestle Canada.
Ada pula, Christophe Piganiol, President Director at APL (a member of ZUELLIG PHARMA); Arief Mustain, Director & Chief Strategy and Innovation Officer at Indosat Ooredoo; Rachmat Kaimuddin, Chief Executive Officer at Bukalapak; Salman Subakat, Chief Executive Officer at PARAGON; Michel Hamilton, Chief Strategy, Transformation & Digital Officer at Maybank
Indonesia; Edwin Sugianto, COO, CMO & Digital Transformation Champion at Mandiri AXA General Insurance; Teguh Wahyono, CTO and IT Director at PT Pegadaian; Sumarjono, Director of Strategic Planning and Information Technology at BPJS Ketenagakerjaan.
"Transformasi digital itu sangat penting saat ini, namun juga tidak mudah. Event seperti ini dimana para praktisi dar berbagai industri berbagi pengalaman konkret mereka, mampu memotong kurva pembelajaran kita secara signifikan," kata Teguh Wahyono, CTO and IT Director di PT Pegadaian.
https://movieon28.com/movies/body-of-evidence/
BUMN China Hadapi Gagal Bayar Obligasi
Kepercayaan investor terhadap pasar obligasi terbesar di dunia, yaitu China tengah diuji. Lantaran, ada beberapa perusahaan milik pemerintahan China (BUMN China) yang belakangan ini justru mengajukan status gagal bayar utang.
Padahal, berdasarkan data yang dikumpulkan Bloomberg, awal tahun 2020 lalu, kasus gagal bayar utang China sempat mengalami penurunan sebanyak 20% atau menjadi 85,1 miliar Yuan setara US$ 13 miliar. Lantaran ditopang kebijakan pemerintah menanggulangi dampak pandemi COVID-19. Setidaknya, saat itu selusin korporasi berhasil lolos dari jeratan gagal bayar utang.
Akan tetapi, kasus gagal bayar utang di China kembali meningkat di paruh kedua tahun ini. Padahal, kasus gagal bayar di pasar obligasi China dianggap sebagai kejadian langka. Lantaran, obligasi di China kebanyakan dikeluarkan oleh para BUMN China tersebut, yang biasanya kerap menerima dana talangan dari pemerintah. Sehingga, dianggap para investor sangat minim risiko.
Nyatanya, kali ini kasus gagal bayar di pasar obligasi China justru berasal dari BUMN China, sedangkan kasus gagal bayar dari korporasi swasta justru mulai mereda akhir tahun ini.
Siapa saja BUMN China yang gagal bayar utang tersebut?
Lanjut ke halaman berikutnya>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar