Mutasi virus Corona E484K alias varian 'Eek' juga ada di Indonesia. Pakar mikrobiologi menyebut, mutasi ini berpotensi menular dan menyebar lebih cepat.
"Kekhawatirannya adalah yang utama, penularannya lebih cepat karena dia replikasinya lebih tinggi, lebih kuat sehingga dari situ dikhawatirkan akan lebih cepat menular dan menyebar ke lebih banyak orang," terang Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandrio pada detikcom, Senin (5/4/2021).
Temuan pertama E484K di Indonesia ini adalah pada pasien COVID-19 dengan varian B117, salah satu varian yang diwaspadai dan berasa dari Inggris. Hingga kini, dilaporkan ada 10 kasus infeksi B117 di Indonesia. Mutasi E484K ditemukan pada 1 pasien di antaranya.
"Mudah-mudahan tidak bertambah dan betul-betul data itu merepresentasikan situasi sebenarnya," ujar Prof Amin.
Ia menjelaskan, pencarian mutasi-mutasi virus Corona, termasuk E484K atau varian Eek di Indonesia masih dalam pencarian.
"Kita baru mulai. Diharapkan tahun ini kita akan bisa melakukan sequencing (sebanyak) 5.000 sequence sehingga kita bisa punya gambaran berapa mutasi sudah ada di Indonesia. Atau adakah mutasi-mutasi lain yang perlu mendapat perhatian," imbuhnya.
Selain pada varian B117, mutasi E484K pula ditemukan pada varian B1351 asal Afrika Selatan dan varian P1 yang ditemukan di Brasil.
"Bisa saja (ditemukan di varian lain), walaupun tidak selalu. Contohnya B117 yang ditemukan terakhir itu, dia tidak mengandung E484K, jadi tidak selalu," ujar Prof Amin.
Varian 'Eek' atau mutasi E484K juga dikhawatirkan tak bisa dilawan oleh vaksin Corona yang sudah ada. Kegagalan vaksin ini sangat memungkinkan lantaran ada bagian tertentu dari virus yang tidak bisa dikenali oleh antibodi pada tubuh bentukan vaksin.
Namun Prof Amin menyebut, hingga kini belum ada pembuktian dari lab terkait efektivitas vaksin terhadap E484K tersebut.
"Kalau bagian (mutasi virus) itu berubah, antibodi jadi tidak bisa menempel lagi, tidak bisa mengenali lagi. Itu yang dikhawatirkan. Setidaknya, dayanya akan menurun," imbuhnya.
https://nonton08.com/movies/lights-out-3/
Bayinya Kena TBC, Ibu Ini Berpesan Jangan Sembarangan Cium Anak Orang
Rima Amalia (27) bercerita pengalaman anaknya, Terra, yang harus berjuang melawan tuberkulosis (TB/TBC) di usia 1 tahun. Wanita yang berdomisili di Tangerang ini mengimbau agar orang-orang tak sembarangan menciumi bayi atau anak orang lain karena bisa menularkan penyakit.
Dalam video yang viral di TikTok, Rima menduga sang anak tertular TBC ketika dicium oleh orang lain. Ini karena menurut pengakuan orang tua dan dokter, lingkungannya memang memiliki angka kasus TBC yang cukup tinggi.
Peringatan buat semuanya. Waspada anak stunting. yuk bisa yuk bun!. ##stunting ##fyp ##foryourpage ##tiktokpintar ##tiktoksamasamabelajar
♬ Bahasa Kalbu - Raisa & Andi Rianto
"Di rumah saya tetangganya ramah-ramah. Saking ramahnya ya mungkin itu jadi suka cium-cium dan pegang anak orang," kata Rima pada detikcom, Senin (5/4/2021).
"Saya bukan nyalahin orang ya. Cuma memang menurut dokter anak yang periksa anak saya, cium itu salah satu media penyebaran bakteri yang paling umum pada anak-anak," lanjutnya.
Terra disebut pertama kali menunjukkan tanda-tanda sakit ketika berat badannya stagnan di usia yang seharusnya mengalami pertumbuhan pesat. Rima menyebut Terra tampak begitu kurus ketika difoto hingga keluarga akhirnya memutuskan untuk cek kesehatan.
Terra kemudian didiagnosis positif TBC pada Agustus 2020. Ia harus rutin mengonsumsi obat antibiotik setiap hari selama sekitar sembilan bulan.
Tiap bulan Rima rutin membawa Terra kontrol ke dokter untuk memastikan perkembangannya.
"Yang pasti saya bikin postingan itu buat mengingatkan banyak orang aja kalau sama anak orang jangan sembarangan dipegang-pegang kalau enggak diizinin orang tuanya. Apalagi kalau dirinya lagi sakit," pungkas Rima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar