Pilek dan sakit kepala menjadi salah satu gejala umum COVID-19. Namun, gejala tersebut juga dapat terjadi pada penderita sinusitis.
Dokter pengobatan keluarga di Northwestern Medicine Central DuPage Hospital dr Kavita Shanker-Patel mengungkapkan bahwa sinusitis atau rinosinusitis, umumnya dikenal sebagai infeksi sinus yang merupakan kondisi meradangnya rongga hidung dan sinus paranasal.
"Infeksi sinus biasanya berlangsung kurang dari empat minggu," jelasnya.
Dikutip dari Women's Health, berikut perbedaan gejala sinusitis dan COVID-19.
Penyebab dan gejala sinusitis
Penyebab paling umum infeksi sinus adalah virus. dr Shanker-Patel menjelaskan sekitar 0,5 hingga 2 persen infeksi sinus bisa menyebabkan rinosinusitis bakteri.
"Ini terjadi ketika bakteri menginfeksi rongga sinus yang meradang, dan paling sering terjadi sebagai komplikasi dari infeksi virus," jelasnya.
Gejalanya meliputi:
Hidung tersumbat
Sakit gigi dan bau mulut
Nyeri di wajah, khususnya di dekat sinus, saat membungkuk ke depan
Demam dan pusing
Kelelahan
Batuk
Kehilangan kemampuan mencium dan mendengarkan
Penyebab dan gejala COVID-19
Sementara itu, COVID-19 disebabkan karena infeksi virus Corona. Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) merilis gejala utama COVID-19 meliputi batuk dan sesak napas.
"Virus COVID-19 juga diketahui bisa menghilangkan kemampuan mencium dan merasakan," ujar ahli otolaringologi di Mount Sinai dr Anthony Del Signore.
Perbedaan signifikan antara gejala sinusitis dan COVID-19 yaitu, penderita sinus hanya akan mengalami penyumbatan hidung, tekanan pada wajah atau telinga, maupun mengeluarkan lendir dari hidung tanpa mengalami nyeri, diare, mual, muntah, ruam, dan sesak napas.
"Banyak gejala yang sangat mirip, dan untuk alasan tersebut hal yang tepat adalah berbicara dengan tenaga medis jika mengalami gejala apapun," pungkas dr Shanker-Patel.
Kedua ahli itu sepakat bahwa jika memiliki gejala-gejala di atas, harus memeriksakan diri ke rumah sakit untuk memastikan kondisi yang sedang dialami. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan tes di antaranya jika pernah berkontak langsung dengan seseorang yang sakit atau baru-baru ini melakukan perjalanan.
"Mempertimbangkan orang-orang yang pernah Anda kunjungi dan berencana untuk berada di sekitar Anda jika merasa tidak enak badan merupakan faktor pemeriksaan yang penting," tandas dr Del Signore.
https://nonton08.com/movies/hidden-camera-basic-instinct/
Bantah Hoax Vaksin Mengandung 'Kera Hijau', Bio Farma Beberkan Faktanya
Beredar pesan berantai yang menyebut vaksin COVID-19 buatan Sinovac mengandung 'jaringan kera hijau Afrika'. Bio Farma tegas membantahnya dan membeberkan fakta-fakta kandungan vaksin.
Kandungan 'jaringan kera hijau Afrika' yang dimaksud dalam broadcast viral tersebut adalah Vero Cell. Juru bicara vaksin COVID-19 PT Biofarma, Bambang Herianto S.Si.,Apt, meluruskan bahwa komponen ini digunakan sebagai media pengembangan kultur dan tidak ditemukan pada produk vaksin yang dipakai.
"Sel vero ini tidak akan ikut sampai proses akhir pembuatan. Vaksin COVID-19 Sinovac saat ini sedang dalam proses aspek kehalalannya oleh LP POM MUI untuk mendapatkan sertifikasi halal," jelas Bambang dalam konferensi pers Minggu (3/1/2021).
Menjawab kesimpangsiuran, Bambang memaparkan kandungan yang sebenarnya ada dalam vaksin COVID-19 buatan Sinovac adalah sebagai berikut.
1. Virus yang sudah dimatikan
Vaksin COVID-19 Sinovac dikembangkan dengan metode inactivated virus. Artinya virus yang berada dalam vaksin sudah dimatikan dan tidak mengandung virus hidup atau yang dilemahkan.
Inactivated adalah metode paling umum dalam pembuatan vaksin.
2. Aluminium hidroksida
Bahan ini berfungsi untuk meningkatkan kemampuan vaksin.
3. Larutan fosfat
Berfungsi sebagai penstabil atau stabilizer vaksin.
4. Natrium klorida
Sebagai isotonis untuk memberikan kenyamanan saat penyuntikan. Natrium klorida yang digunakan dalam vaksin COVID-19 sesuai dengan standar kefarmasian.
Bambang juga membantah tudingan bahwa vaksin yang akan diberikan adalah vaksin uji coba karena ada tulisan "only for clinical trial". Dipastikan, produk vaksin yang dipakai untuk uji klinis berbeda dengan yang digunakan dalam program vaksinasi.
Untuk uji klinis, vaksin yang dipakai menggunakan kemasan vaksin dan jarum suntik terpisah. Sedangkan untuk program vaksinasi, yang dipakai adalah kemasan single dose dan tidak memiliki label "only for clinical trial".
"Pemberitaan yang menyebutkan bahwa vaksin yang digunakan untuk uji klinis atau only for clinical trial sebagaimana yang tertulis dalam kemasan vaksin adalah tidak benar," tegas Bambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar