Vaksin yang nantinya akan tersedia untuk melawan virus Corona COVID-19 mungkin dibutuhkan dua kali suntikan agar tubuh kebal. Keduanya kemungkinan diperlukan karena SARS-CoV-2 adalah virus baru yang tidak mengembangkan antibodi.
Suntikan pertama diberikan untuk membuat sistem kekebalan tubuh yang prima, agar membantunya mengenali virus yang masuk ke tubuh. Lalu, yang kedua dibutuhkan untuk menguatkan respon imun terhadap virus tersebut.
Ahli imunologi di The Harvard T.H. Chan School of Public Health di Boston, Barry Bloom, mengatakan hampir semua vaksin Corona yang ditunggu saat ini harus diberikan sebanyak dua kali.
"Sejauh yang saya ketahui, semua vaksin yang sedang dikembangkan saat ini dipertimbangkan akan diberikan sebanyak 2 kali," kata Bloom, yang dikutip dari USAToday, Jumat (5/6/2020).
"Mungkin pengecualian untuk vaksin Merck, yang diharapkan nantinya bisa melawan virus dengan satu dosis saja," lanjutnya.
Menurut kepala strategi koalisi Aksi Koordinasi Imunisasi, LJ Tan, kedua vaksin Corona itu nantinya diberikan secara terpisah. Mungkin perlu diberikan dengan jarak 1-2 bulan.
Saat suntikan pertama diberikan, sistem kekebalan tubuh akan bereaksi terhadap sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kemudian, sistem kekebalan akan memproses dan mengembangkan antibodi serta sel kekebalan.
"Jika suatu infeksi datang, imun tubuh akan melawannya. Hasilnya, kamu akan kebal dan tidak sakit," ungkapnya.
Namun, untuk beberapa patogen memang dibutuhkan suntikan kedua untuk mengatasinya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan sistem kekebalan tubuh yang prima untuk melawan infeksi.
Studi: 76 Persen Pasien Corona Membaik Usai Jalani Terapi Plasma Darah
Baru-baru ini salah satu studi di rumah sakit Texas menunjukkan keberhasilan dari terapi plasma darah. Sebanyak 76 persen pasien virus Corona COVID-19 kondisinya dinyatakan membaik usai diberi terapi plasma darah.
Studi yang dimuat di The American Journal of Pathology 26 Mei lalu ini melibatkan 25 pasien virus Corona COVID-19 dengan kondisi kritis. Plasma dari pasien virus Corona COVID-19 yang sudah dinyatakan sembuh ini diharapkan menjadi antibodi yang membantu pasien kritis melawan Corona.
"Data menunjukkan bahwa pemberian plasma konvalesen merupakan pilihan pengobatan yang aman bagi mereka yang mengidap penyakit COVID-19 yang parah," jelas para penulis penelitian.
Penulis penelitian menggambarkan terapi plasma yang dilakukan yaitu dengan transfusi 300 mL plasma ditoleransi dengan baik dan mengatakan bahwa tidak ada efek samping yang berbahaya. Seminggu setelah transfusi plasma, 36 persen pasien virus Corona menunjukkan perbaikan klinis.
Tujuh hari kemudian total 76 persen atau 19 pasien virus Corona COVID-19 membaik dan dipulangkan dari rumah sakit.
Hipertensi, Penyakit yang Picu Kematian Pasien Virus Corona
Pasien yang memiliki riwayat tekanan darah yang tinggi dua kali lebih berisiko meninggal karena infeksi virus Corona COVID-19. Dalam European Heart Journal, hal ini mungkin terjadi pada penderita hipertensi yang tidak mengkonsumsi obatnya dengan teratur.
"Penting bagi pasien dengan tekanan darah tinggi untuk menyadari mereka berisiko lebih tinggi meninggal dunia akibat infeksi COVID-19," kata ahli jantung di Rumah Sakit Xijing di Xian, China, Fei Li yang dikutip dari The Straits Times, Jumat (5/6/2020).
Para peneliti dari China dan Irlandia memeriksa kasus pasien yang dirawat di Rumah Sakit Huoshenshan di Wuhan, antara 5 Februari dan 15 Maret. Hasilnya, hampir 30 persen yang setara dengan 850 pasien COVID-19 memiliki riwayat hipertensi. Mereka menemukan empat persen (34 orang) dari 850 pasien hipertensi meninggal, dibandingkan dengan satu persen (22 orang) dari 2.027 pasien tanpa hipertensi.
Hasilnya, ada peningkatan risiko 2,12 kali lipat setelah disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhinya, antara lain usia, jenis kelamin, dan kondisi medis lainnya. Di penelitian yang berbeda yang mencangkup 2.300 pasien COVID-19 di rumah sakit yang sama, para peneliti juga menyelidiki dampak berbagai obat pengontrol hipertensi terhadap tingkat kematian.
Bertentangan dengan itu, mereka menemukan bahwa jenis obat yang diketahui sebagai inhibitor RASS, yang meliputi angiotensin perubahan dari enzim inhibitor (ACE) dan penghambat reseptor angiotensin (ARB), tidak berkaitan dengan tingginya tingkat kematian akibat COVID-19. Meskipun risikonya terlihat agak berkurang.
Seorang profesor di Rumah Sakit Xijing, Ling Tao, pun juga menyarankan untuk tidak berhenti atau mengganti obat anti-hipertensi yang biasa dikonsumsi.
"Kami menyarankan agar pasien tidak menghentikan atau mengubah obat anti-hipertensi yang biasa dikonsumsi, kecuali memang diinstruksikan oleh dokter," ujarnya.
http://cinemamovie28.com/uq-holder-episode-7/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar