Salah satu alasan penutupan Taman Nasional (TN) Komodo adalah populasi rusa sebagai makanan komodo menurun. Ini tanggapan dari peneliti komodo.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat rencananya akan menutup Taman Nasional Komodo selama 1 tahun. Didasari oleh kondisi habitat komodo di Kabupaten Manggarai Barat, ujung barat Pulau Flores itu sudah semakin berkurang serta kondisi tubuh komodo yang kecil sebagai dampak dari berkurangnya rusa yang menjadi makanan utama komodo. Soal berkurangnya rusa, salah satu sebabnya karena perburuan ilegal.
detikTravel mewawancarai Deni Purwandana, Koordinator Yayasan Komodo Survival Program yang menjadi mitra dari Balai TN Komodo tentang penelitian populasi dan habitat Si Naga Purba tersebut. Menurutnya, populasi rusa yang jadi salah satu makanan komodo tidak menurun.
"Kami tidak melihat penurunan populasi rusa di Pulau Komodo. Untuk di Pulau Rinca, ada sedikit kecenderungan penurunan populasi rusa, tapi makanan komodo juga tidak hanya bergantung pada rusa. Ada kerbau dan babi hutan," katanya kepada detikTravel, Rabu (23/1/2019).
Deni juga menyinggung soal perburuan rusa. Menurutnya, soal keamanan harus lebih dijaga dari para pemburu ilegal. Terutama, di wilayah-wilayah yang aksesnya sulit dijangkau.
"Soal perburuan rusa itu harus diperhatikan lebih intensif, karena mungkin saja perburuan terjadi di daerah yang sulit dijangkau seperti di bagian barat Pulau Komodo," terang Deni.
Aparat mengecek lokasi pemburuan rusa di Pulau KomodoAparat mengecek lokasi pemburuan rusa di Pulau Komodo (dok. istimewa)
Selain itu, ada banyak faktor yang membuat populasi rusa menurun. Bisa saja area padang rumput yang jadi habitat rusa menurun dan lain sebagainya.
"Kita harus butuh lebih banyak data untuk meneliti populasi rusa, melalui pendekatan multi disiplin. Seperti memakai citra satelit dari tahun ke tahun untuk melihat padang rumput yang jadi area makannya rusa dan lain-lain. Benar-benar harus dikaji lebih dalam," ungkap Deni.
Hingga kini, wacana penutupan TN Komodo masih sebatas wacana. Belum ada keputusan dan pemberitahuan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Liburan ke Sumedang, Ini Destinasinya
Sumedang begitu lekat dengan wisata kuliner tahu. Bukan cuma kulineran, ini destinasi Sumedang yang wajib kamu jelajahi.
Menuju Sumedang, kami memilih melewati Tol Cipali dan kemudian keluar Gerbang Tol Cikedung. Kami kemudian melewati sebagian Indramayu sebelum kemudian memasuki wilayah Sumedang.
Sepanjang perjalanan menuju kota Sumedang kami disambut oleh pemandangan indah nan segar dari perkebunan jati hingga persawahan.
Sumedang termasuk dekat dari Jakarta dan Bandung. Waktu tempuh dari Jakarta dengan rute tol Cipali hanya berkisar empat jam. Sedangkan dari Bandung tentunya lebih dekat, hanya sekitar 2 jam..
Jalanan di pusat kota Sumedang rata-rata tidak lebar dan sarat akan kendaraan. Selama di kota kami bisa berwisata budaya, dari Alun-Alun Sumedang, Masjid Agung Sumedang, Taman Endog (Egg Park), hingga Museum Geusan Ulun.
Kami hanya melewati taman dengan Monumen Telur karena monumen tersebut sedang direnovasi. Monumen ini dibangun tahun 1990 dan menurutku merupakan ikon kota yang unik.
Aku bertanya-tanya kenapa telur yang dijadikan monumen? Sumedang tidak seperti Brebes yang terkenal akan telur asinnya. Eh ternyata hal ini berkaitan dengan konsep penciptaan. Monumen Endog ini memiliki tujuan agar warga Sumedang ingat akan konsep penciptaan alam.
Kami kemudian menuju Alun-Alun Sumedang yang bersebelahan dengan Masjid Agung Sumedang. Kedua tempat ini berada di jalan Prabu Geusan Ulun.
Daya tarik Alun-Alun Sumedang yaitu tempatnya yang asri, memiliki banyak bangku dan di tengah-tengah taman terdapat Tugu Lingga.
Monumen ini telah berusia sekitar satu abad untuk mengenang jasa Pangeran Aria Suriatmadja. Di monumen terdapat tulisan menggunakan aksara Sunda dan tulisan latin berbahasa Sunda.
Madjid Agung yang terletak di sebelah Alun-Alun juga merupakan bangunan bersejarah. Tempat ibadah ini memiliki menara yang indah dan berukuran cukup besar, sehingga bisa menampung banyak jamaah.
Masjid ini memiliki atap bertingkat dengan bagian atas seperti limas seperti perpaduan gaya bangunan Jawa, Islam, dan China. Ada banyak tiang penyangga di masjid yang dibangun sekitar tahun 1850 ini yang menambah kekhasan bangunan masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar