Angka perkawinan anak di Jawa Tengah ternyata masih cukup tinggi. Setidaknya tercatat sekitar 10 persen anak di Jateng menikah muda.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Tengah Retno Sudewi mengatakan Provinsi Jawa Tengah yang berpenduduk 34,7 juta (berdasar data BPS tahun 2019), sepertiganya adalah anak-anak. Jumlah usia anak ini menjadi lebih besar ketika UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, karena batasan usia nikah bagi laki-laki dan perempuan harus 19 tahun.
"Angkanya untuk Jawa Tengah terdapat 10,2 persen yang menikah pada usia anak. Ini banyak terjadi di Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga. Penyebanya adalah faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah. Angka perwakinan anak termasuk tinggi," kata Retno Sudewi dalam siaran pers webinar 'Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah: Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah' yang diterima detikcom, Kamis (19/11/2020).
Pada tahun 2019, lanjut Retno, jumlah pernikahan anak laki-laki 1.377 dan perempuan 672. Setelah terbit undang-undang yang baru, hingga September 2020 jumlah anak laki-laki yang menikah ada 1.070 anak dan perempuan 7.268 anak.
https://tendabiru21.net/movies/sex-and-the-future/
"Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan gerakan masif agar kawin bocah tercegah. Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media," ujarnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pernikahan dini anak salah satunya dari keluarga dan ekonomi. Salah satu contohnya yang menimpa Ratna (nama samaran) di Kabupaten Rembang. Gadis 14 tahun dari keluarga miskin itu nyaris dinikahkan dengan pria yang merupakan juragan kapal.
"Kami juga berusaha mengetahui apakah pernikahan itu karena paksaan ataukah hal-hal tertentu lainnya," kata Abdul Baastid, salah satu pendamping Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di Rembang.
Ia menjelaskan semula kedua orang tua Ratna mengaku, anaknya dan calon suaminya sudah pacaran. Kemudian adapula kabar soal mahar Rp 150 juta.
"Ketika ada kabar mahar Rp 150 juta, saya kemudian menduga ini ada unsur human trafficking. Namun ketika saya bertanya ke Polresta Rembang, unsur human trafficking itu belum bisa dikenakan apabila belum terjadi pembayaran. Nah, jika sudah ada pembayaran berarti kan sudah menikah. Itu sama dengan terlambat. Kami lalu berusaha mencari cara lain menyelamatkan Ratna lebih jauh," tutur Baastid.
Meski mahar belum diberi, tapi Tim Puspaga Kabupaten Rembang menemukan fakta yang kuat Ratna benar-benar belum mau menikah dan masih ingin melanjutkan sekolah. Dengan alasan tersebut maka rencana pernikahan yang sudah disusun pun akhirnya batal.
"Ratna kemudian melanjutkan sekolahnya. Sekarang ia duduk di kelas 11 di Madrasah Aliyah. Dia tinggal di pesantren. Biaya sekolah dan di pesantren ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Rembang. Bahkan para donatur pun ada yang sanggup membiayai," ujar Baastid.
Child Protection Officer UNICEF Indonesia Derry Ulum menjelaskan, berdasarkan data proyeksi BPS di tahun 2018, sebanyak 30 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia adalah anak-anak atau sekitar 79,55 juta jiwa.
"Dari data laporan BPS juga diketahui, pada tahun 2019, satu dari sembilan anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara untuk anak laki-laki, satu dari 100 anak mengaku menikah di bawah usia 18 tahun," kata Derry.
"Tentunya ini yang tercatat atau terdata. Belum bisa dibayangkan mereka yang menikah siri atau tidak tercatatkan," imbuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar