Pandemi virus Corona telah membuat perubahan besar dalam bekerja. Adanya arahan untuk jaga jarak dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mengakibatkan pusat perkantoran ditutup dan karyawan diminta bekerja di rumah atau WFH (Work from Home).
Saat ini semakin banyak orang yang bekerja di rumah. Bahkan menurut Global Workplace Analytics terjadi peningkatan 159 persen dalam pekerjaan jarak jauh terlebih saat wabah virus Corona.
Arahan bekerja dari rumah membuat banyak orang bersorak. Siapa sih yang nggak ingin tetap produktif dan bekerja di rumah saja? Tapi jangan salah ternyata WFH lebih melelahkan bahkan bisa menimbulkan burnout.
Ada pemicu terjadinya burnout karena berubahnya kebiasaan dan dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi yang baru, seperti yang dijelaskan psikolog klinis dewasa, Arrundina Puspita Dewi, MPsi.
"Karena harus mengubah kebiasaan, dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi baru, bekerja di rumah. Ini saja sudah cukup membuat stres," ujar Arrundina kepada detikcom, Rabu (15/4/2020).
1. Belum terbiasa WFH
Karena kita harus mengubah kebiasaan. Kita dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi baru yaitu saat bekerja di rumah. Hal ini sudah cukup membuat stres dan bagi orang-orang yang memang memerlukan waktu lama untuk beradaptasi, tingkat stresnya bahkan bisa lebih tinggi lagi.
Selain itu, dengan kerja di rumah juga diharuskan untuk mengatur jadwal kerja sendiri yang mana memerlukan adaptasi yang baru.
2. Merasa beban kerja bertambah
Beban kerja dirasa makin bertambah karena keterbatasan gerak untuk mengerjakan tugas-tugas pekerjaan, kesulitan untuk berdiskusi dengan rekan kerja, belum lagi dengan tugas-tugas rumah yang harus dikerjakan.
Sebelumnya saat bekerja di kantor yang dipikirkan hanya urusan kantor, dan setelah pulang ke rumah bisa istirahat dari pekerjaan. Nah, sekarang dipaksa harus bisa beradaptasi dengan urusan kantor dan rumah sekaligus.
Tumpang tindih antara dua hal yang sama pentingnya inilah yang pada akhirnya membuat stres berkepanjangan, kewalahan, hingga akhirnya mengalami burnout.
Jumlah Pasien Corona Tembus 2 Juta, Terbanyak di Eropa dan Amerika
Pandemi virus Corona COVID-19 belum juga mereda. Hanya dalam dua pekan, terjadi peningkatan jumlah kasus positif dua kali lipat dan saat ini total akumulatif telah menembus angka 2 juta.
Dari jumlah tersebut, tercatat 132.932 pasien meninggal dunia sehingga angka kematian atau case fatality rate (CFR) saat ini berada di angka 6,48 persen. Jumlah pasien yang dinyatakan sembuh mencapai 508.387 kasus.
Meski wabah ini berawal di China, jumlah kasus terbanyak saat ini ada di Amerika Serikat dan Eropa. Lima negara yang mencatatkan jumlah kasus paling tinggi saat ini adalah:
Amerika serikat: 622.923 kasus positif, 27.586 meninggal, 47.707 sembuh
Spanyol: 177.633 kasus positif, 18.579 meninggal, 70.853 sembuh
Italia: 165.155 kasus positif, 21.645 meninggal, 38.092 sembuh
Prancis: 147.863 kasus positif, 17.167 meninggal, 30.955 sembuh
Jerman: 133.209 kasus positif, 3.592 meninggal, 72.600 sembuh.
Baca juga: Pasien Corona Tembus Sejuta, 5 Negara Ini Catatkan Jumlah Kasus Terbanyak
Tempat wabah bermula, China mencatatkan total 82.295 kasus positif hingga saat ini. Jumlah pasien meninggal di negara ini mencapai 3.342 kasus dan sembuh 77.816.
Diyakini sebagai kasus pertama yang dilaporkan adalah seorang pria 55 tahun di Provinsi Hubei, yang sakit pada pertengahan November 2019. Pada akhir Desember, China mengumumkan kluster pasien dengan keluhan penyakit pernapasan setelah mengunjungi Pasar Seafood Huanan di Wuhan.
Sejak saat itu, wabah 'pneumonia misterius' yang belakangan mendapat nama resmi COVID-19 ini meluas hingga akhirnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan status pandemi pada 11 Maret 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar