Beberapa pasien di berbagai negara kembali mendapatkan hasil positif dalam pemeriksaan virus Corona COVID-19 setelah dinyatakan sembuh. Para ahli menduga bahwa virus yang tersisa di dalam tubuh pasien mengalami reaktivasi.
Seberapa besar kemungkinan reaktivasi virus Corona terjadi?
Menurut Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME), Prof Amin Soebandrio, reaktivasi virus Corona memang bisa saja terjadi, tetapi cukup sulit bila harus dinyatakan dalam hitungan peluang kemungkinannya.
"Sulit dinyatakan persentasenya, karena tes apa pun termasuk tes PCR (Polymerase Chain Reaction) itu ada batas deteksinya," kata Prof Amin kepada detikcom, Rabu (15/4/2020).
"Misalnya dia bisa mendeteksi sepuluh virus per mililiter nah kalau virusnya ada di bawah itu dan sedikit sekali itu bisa tidak terdeteksi, tapi bukan berarti hilang sama sekali," lanjutnya.
Jadi menurutnya untuk menentukan kemungkinan besar reaktivasi bisa terjadi itu cukup sulit. Karena ini bisa terjadi bila sistem kekebalan tubuh pada pasien tidak bekerja dengan baik.
"Kalau lingkungan (imunitas) memungkinkan membuat virus yang sedikit itu menjadi berkembang, bisa terjadi reaktivasi. Jadi tergantung keseimbangan antara si virus dengan sistem kekebalan tubuh si orangnya," tuturnya.
Kenali Berbagai Pemicu Stres Saat Bekerja dari Rumah
Pandemi virus Corona telah membuat perubahan besar dalam bekerja. Adanya arahan untuk jaga jarak dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mengakibatkan pusat perkantoran ditutup dan karyawan diminta bekerja di rumah atau WFH (Work from Home).
Saat ini semakin banyak orang yang bekerja di rumah. Bahkan menurut Global Workplace Analytics terjadi peningkatan 159 persen dalam pekerjaan jarak jauh terlebih saat wabah virus Corona.
Arahan bekerja dari rumah membuat banyak orang bersorak. Siapa sih yang nggak ingin tetap produktif dan bekerja di rumah saja? Tapi jangan salah ternyata WFH lebih melelahkan bahkan bisa menimbulkan burnout.
Ada pemicu terjadinya burnout karena berubahnya kebiasaan dan dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi yang baru, seperti yang dijelaskan psikolog klinis dewasa, Arrundina Puspita Dewi, MPsi.
"Karena harus mengubah kebiasaan, dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi baru, bekerja di rumah. Ini saja sudah cukup membuat stres," ujar Arrundina kepada detikcom, Rabu (15/4/2020).
1. Belum terbiasa WFH
Karena kita harus mengubah kebiasaan. Kita dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi baru yaitu saat bekerja di rumah. Hal ini sudah cukup membuat stres dan bagi orang-orang yang memang memerlukan waktu lama untuk beradaptasi, tingkat stresnya bahkan bisa lebih tinggi lagi.
Selain itu, dengan kerja di rumah juga diharuskan untuk mengatur jadwal kerja sendiri yang mana memerlukan adaptasi yang baru.
2. Merasa beban kerja bertambah
Beban kerja dirasa makin bertambah karena keterbatasan gerak untuk mengerjakan tugas-tugas pekerjaan, kesulitan untuk berdiskusi dengan rekan kerja, belum lagi dengan tugas-tugas rumah yang harus dikerjakan.
Sebelumnya saat bekerja di kantor yang dipikirkan hanya urusan kantor, dan setelah pulang ke rumah bisa istirahat dari pekerjaan. Nah, sekarang dipaksa harus bisa beradaptasi dengan urusan kantor dan rumah sekaligus.
Tumpang tindih antara dua hal yang sama pentingnya inilah yang pada akhirnya membuat stres berkepanjangan, kewalahan, hingga akhirnya mengalami burnout.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar