- Antartika masih menjadi satu-satunya benua yang bebas COVID-19. Para ilmuwan yang melakukan penelitian di sana pun berusaha keras mempertahankan wilayah itu agar jangan sampai Corona melanda.
"Kasus COVID-19 di sini bisa jadi bencana. Jadi kami juga melakukan lockdown. Ibaratnya melakukan isolasi di daerah isolasi. Pencegahan jauh lebih baik ketimbang pengobatan," kata Dr Pradeep Tomar yang sekarang berada di markas India di Antartika, Bharati.
Memang seandainya salah satu orang di Antartika kena Corona, bisa fatal akibatnya. Fasilitas medis amat terbatas, jauh dari mana-mana dan jika satu terkena, yang lain berpotensi besar ikut menderita COVID-19.
Dikutip detikINET dari BBC, total ada 23 orang di basis India itu dan mereka memberlakukan lockdown sejak bulan Februari. Siapapun yang baru datang dari luar Antartika juga harus dikarantina selama 14 hari.
Ada 29 negara punya pusat penelitian di Antartika. Sebelum ada lockdown, kadang mereka saling berkunjung ke markas negara lain untuk sekadar main, merayakan sesuatu atau meminjam barang.
Akan tetapi sejak awal Maret, sudah tidak ada aktivitas semacam itu. Kegiatan bersama peneliti negara lain dihentikan untuk sementara.
Dr Tomar sendiri tiba di Antartika pada November 2019, ketika situasi dunia masih normal. Kini dia kadang dilanda kecemasan karena kurangnya informasi soal pandemi Corona dari dunia luar serta khawatir tentang nasib keluarganya.
"Teman-teman memberitahu saya bahwa mereka terisolasi dan harus diam di rumah saja. Sukar dibayangkan bahwa seluruh dunia harus keluar memakai masker," cetusnya.
Belum adanya tanda pandemi Corona berakhir membuat waktu tinggal mereka di Antartika bisa jauh lebih lama. Mereka harus bersabar di tengah udara dingin dan iklim yang tidak bersahabat.
Bharati mulai beroperasi di 2012 dan merupakan salah satu markas paling terpencil. Daratan terdekat adalah Afrika Selatan dengan jarak 5.000 kilometer. Transportasi satu-satunya memakai kapal.
Tentu fasilitas yang tersedia sangatlah terbatas. Salah satu ancaman yang harus terus diantisipasi adalah udara di luar bisa anjlok sampai minus 40 derajat Celcius.
Seluruh tim yang bekerja di sini mendapatkan pelatihan intensif sebelum kedatangan. Kondisi isolasi di tempat terpencil dan juga kurang mendapat sinar Matahari membuat mereka berpotensi kena depresi.
"Tak seorang pun pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Saya harap saat nanti kembali pulang, dunia akan menjadi sama lagi seperti sebelumnya," pungkas Dr Tomar.
China Bangun Pabrik Vaksin Corona Siap Produksi Jutaan Dosis
China termasuk salah satu negara yang aktif mengembangkan kandidat vaksin COVID-19. Bahkan salah satu perusahaan di negeri Tirai Bambu itu mengklaim telah membangun pabrik vaksin Corona terbesar di dunia dengan kapasitas produksi 100 juta dosis per tahun.
Media CGTN yang dikutip detikINET mengabarkan bahwa perusahaan Fourth Construction Co yang adalah bagian China Electronics System Engineering mengklaim fasilitas produksi itu dengan tingkat keamanan bio safety level 3 (BSL-3) siap produksi massal vaksin Corona yang sudah terbukti manjur.
BSL-3 adalah level keamanan untuk penyakit yang berpotensi bahaya seperti SARS atau MERS. China Electronics System Engineering yang didirikan tahun 1983 disebut punya 80% market share fasilitas biomedis global.
Soal vaksin, salah satu kandidat paling menjanjikan di negara itu adalah buatan Sinovac Biotech yang berbasis di Beijing. Ilmuwan perusahaan itu mengklaim sudah berhasil uji vaksin Corona pada monyet dan berlanjut ke manusia.
Sinovac pun sedang mempersiapkan fasilitas produksi baru yang akan siap tahun ini dengan harapan vaksin tersebut terbukti efektif. Mereka telah membeli lahan seluas 70 ribu meter persegi di Beijing.
Ilmuwan Sinovac Biotech mengaku bekerja tanpa henti sekarang ini. "Biasanya pembuatan vaksin memerlukan waktu antara 8 sampai 10 tahun," kata direktur senior Sinovac, Meng Weining kepada ABC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar