Pemerintah Selandia Baru mengumumkan tak ada lagi kasus virus Corona COVID-19 di wilayahnya selama lima hari berturut-turut. Pasien terakhir yang dirawat di rumah sakit dilaporkan sudah sembuh.
"Saya pikir ini adalah yang pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, kami tak memiliki pasien Corona di rumah sakit. Ini adalah sesuatu yang bagus," kata Dirjen Kesehatan Selandia Baru, Ashley Bloomfield, seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu (27/5/2020).
Selandia Baru dianggap sebagai salah satu negara yang sukses dalam mengendalikan pandemi virus Corona. Selandia Baru mencatat total 1.154 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi dengan 21 di antaranya meninggal dunia.
Kenormalan baru atau new normal di Selandia Baru sudah mulai diterapkan. Berbagai tempat umum, misalnya bandara, menerapkan protokol kesehatan jaga jarak fisik dan peningkatan standar kebersihan.
Ashley mengatakan Selandia Baru akan tetap dalam kondisi waspada tingkat dua untuk memastikan tak ada lagi penyebaran Corona. Penjagaan di perbatasan juga akan tetap dipertahankan.
Pandemi Corona Munculkan Persoalan Limbah Medis Rumah Tangga
Wabah virus Corona (COVID-19) memberikan dampak dalam berbagai sektor, termasuk lingkungan hidup. Hal itu dipicu pemakaian alat medis oleh masyarakat.
"Penggunaan APD standar seperti masker dan hand sanitizer di masyarakat kian meningkat sebagai upaya mencegah infeksi COVID-19," kata Dosen dan Peneliti Lingkungan FMIPA UGM, Suherman, PhD, dalam keterangannya, Rabu (27/5/2020).
Dia menyebutkan bahwa alkohol, utamanya ethyl-alcohol yang menjadi bahan utama hand sanitizer relatif aman terhadap lingkungan. Sebab, alkohol memiliki sifat volatile sehingga mudah menguap ke udara menjadi gas.
Hal tersebut jauh berbeda dengan masker. Masker mempunyai bahan utama fiber ataupun kertas yang harus dibuang setelah digunakan.
"Bisa dibayangkan, berapa juta sampah masker yang ada di lingkungan sekitar mengingat prediksi pandemi COVID-19 ini masih akan dihadapi setidaknya hingga beberapa waktu ke depan mempertimbangkan 270 juta penduduk Indonesia yang membutuhkan perlindungan," urainya.
Masker bekas merupakan sampah non-daur ulang sehingga harus dibuang atau diolah di tempat pengelolaan sampah (TPS). Adapun pengolahan dilakukan dengan metode yang benar seperti insenerator atau pirolisis (perlakukan termal tanpa oksigen).
Dia menyebutkan di tengah tingginya permintaan masker sementara pasokan terbatas, saat ini tidak jarang ditemukan adanya pihak yang mendaur ulang sampah masker. Sampah masker teresbut dibersihkan dan disetrika agar rapi sebelum diedarkan lagi. Oleh sebab itu dianjurkan sebelum membuang, pastikan masker tersebut dirusak atau digunting terlebih dahulu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, maka limbah masker dikategorikan sebagai limbah medis yang membutuhkan penanganan khusus. Hal itu berarti keberadaan masker bekas di lingkungan memunculkan risiko kesehatan akibat bakteri dan virus yang terbawa di sampah masker tersebut.
"Saat serakan masker bekas terkena hujan, maka bakteri dan virus masuk ke badan air dan sumber air minum konsumsi masyarakat,"terangnya.
Tak hanya masker dan alkohol, penggunaan disinfektan juga turut melonjak guna mencegah penularan Corona. Penggunaan disinfektan di lingkungan kerap dijumpai di berbagai fasilitas publik seperti dalam gedung sekolah, tempat ibadah, hingga jalan raya dan area pemukiman.
Menurut Suherman, tindakan membersihkan lingkungan adalah langkah tepat, terutama di fasilitas yang dijadikan lokasi interaksi antarwarga semisal balai pertemuan RT/RW, tempat ibadah, sekolah, dan lainnya. Namun, di musim hujan seperti saat ini, pemakaian disinfektan yang berlebihan berpotensi jadi masalah lingkungan karena akan tersapu oleh air hujan.
https://kamumovie28.com/sexy-part-time-wife-at-convenience-store-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar