Semakin hari gejala COVID-19 dilaporkan makin ringan yang membuat banyak orang tak sadar telah terinfeksi penyakit mematikan tersebut. Namun saat ini makin banyak pasien yang melaporkan tanda tak biasa yang mereka alami terutama saat makan.
Kehilangan kemampuan untuk mencium atau mengecap jadi dua gejala yang terkait dengan infeksi COVID-19. Meski banyak yang normal kembali, kondisi ini bisa membuat seseorang mengalami distorsi bau.
Ini dibuktikan oleh pengalaman yang dibagikan oleh pasien bernama Kate McHenry, yang baru-baru ini berbicara kepada BBC tentang gangguan pengecapnya.
"Saya suka makanan enak, pergi ke restoran, minum-minum dengan teman-teman, tapi sekarang semua itu sudah hilang. Daging rasanya seperti bensin dan anggur prosecco rasanya seperti apel busuk," kata Kate.
Jika pasangan saya, Craig, makan kari, saya merasa baunya sangat tak enak. Bahkan saya merasa baunya keluar dari pori-porinya, jadi saya berjuang kalau berada di dekatnya," sambungnya.
Kondisi lain juga dialami oleh Pasquale Hester. Baginya, rasa pasta gigi membuatnya muntah-muntah sehingga ia terpaksa menyikat gigi dengan garam yang rasanya, anehnya, sangat normal.
Seperti banyak penderita COVID-19 lain, butuh berminggu-minggu sebelum indra penciumannya pulih setelah ia terinfeksi virus corona. Namun, ketika dia makan kari di ulang tahunnya di bulan Juni, dia menyadari indra penciumannya yang kacau.
"Saya makan poppadum (roti India) tetapi langsung melepehnya karena rasanya seperti cat. Beberapa makanan lebih bisa dimakan daripada yang lain," kata Pasquale.
Pasien COVID-19 mengalami anosmia karena COVID-19 merusak jaringan dan ujung saraf di hidung mereka. Ketika saraf itu tumbuh kembali, parosmia atau distorsi bau bisa terjadi dan otak tidak dapat mengidentifikasi bau sebenarnya dari suatu benda.
Prof Claire Hopkins, presiden British Rhinological Society (BRS), mengatakan ada kepercayaan salah bahwa kehilangan indra penciuman akibat COVID-19 berlangsung sebentar. Padahal pada beberapa pasien kondisi ini bisa berlangsung lama dan parah.
"Ya, ada peluang bagus untuk sembuh, tetapi ada sejumlah besar orang yang akan kehilangan bau dalam jangka waktu lama dan dampaknya terabaikan sepenuhnya." kata Claire.
https://cinemamovie28.com/covet-island-of-desire/
Mitos-Fakta Curcumin yang Bantu Tingkatkan Imun Tubuh untuk Tangkal COVID-19
Curcumin senyawa yang terdapat pada kunyit dan temulawak sempat heboh diperbincangkan saat pertama kali wabah Corona merebak. Bahkan, temulawak kala itu jadi marak dicari karena dinilai bisa mencegah infeksi COVID-19.
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOT JI) dr Inggrid Tania menjelaskan curcumin adalah pigmen berwarna kuning terkandung di dalam kunyit maupun temulawak. Ada beberapa fakta dan hoax terkait curcumin yang sempat beredar termasuk disebut memicu risiko tinggi terpapar COVID-19.
"Jadi sebetulnya curcumin ini kalau dilihat secara struktur merupakan suatu senyawa dengan sifat yang menonjolnya misalnya antiperadangan dan antiinflamasi dan meningkatkan kadar antioksidan yang diproduksi oleh tubuh," jelas dr Inggrid dalam temu media daring, Rabu (21/10/2020).
Berikut tiga hoax dan fakta terkait kurkumin:
1. Curcumin tingkatkan risiko terpapar COVID-19
Bukan untuk menangkal COVID-19, curcumin sempat disebut meningkatkan risiko terpapar. dr Inggrid menegaskan hal ini adalah hoax semata.
"Waktu awal-awal pandemi sempat keluar suatu hoax yang menyatakan bahawa knonsumsi temulawak dapat meningkatkan risiko terpapar COVID-19 karena dapat meningkatkan reseptor ACE 2," jelas dr Inggrid.
"Hoax ini sebenarnya bertentangan atau berlawanan dengan hasil-hasil riset dari Bio Informatika maupun uji pra klinik, in vitro. Karena hasil riset Bio Informatika itu juga yang dirilis di masa pandemi dengan simulasi di komputer itu menunjukkan curcumin malah mampu meningkatkan reseptor protein dari SARS-CoV-2 virusnya COVID-19," lanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar