Setidaknya ada sembilan negara Eropa yang mencatat rekor infeksi COVID-19. Adalah Belanda, Kroasia, Republik Ceko, Jerman, Italia, Polandia, Slovakia, Slovenia, dan Swiss.
Daily Star melaporkan korban tewas Corona setiap harinya di Italia naik dua kali lipat dari hari-hari sebelumnya. Italia mencatat 83 kematian akibat COVID-19 pada Kamis, naik dari 43 kasus pada Rabu.
Namun, angka penambahan kematian COVID-19 di Italia terbilang masih sedikit dibandingkan gelombang pertama. Kala itu, penambahan kematian bisa mencapai 900 kasus per hari.
Namun, hal ini memicu kekhawatiran menghadapi gelombang kedua COVID-19. Sebab, banyak negara Eropa bagian timur kembali mencatat lonjakan kasus COVID-19 usai sebelumnya 'berhasil' bebas dari Corona.
Rekor kasus COVID-19 di 9 negara Eropa termasuk Jerman
Seperti Jerman, mencatat rekor 6.638 kasus COVID-19 pada Kamis, serta 33 kematian baru. Penambahan kasus ini tiga kali lipat dari angka yang dilaporkan pekan lalu.
Sementara Prancis telah melaporkan rata-rata lebih dari 100 kematian per hari di minggu ini, Inggris mencatat rata-rata 110 kasus COVID-19 per hari, dan Spanyol 160 kasus COVID-19.
Minggu ini Belanda menutup bar dan restoran, sedangkan Republik Ceko menutup sekolah. Pada hari Rabu, Kementerian Kesehatan Ceko mengkonfirmasi lebih dari 9.500 kasus COVID-19 baru, lebih dari 900 lebih tinggi dari rekor sebelumnya.
Polandia mencatat rekor hampir 9.000 kasus baru COVID-19 pada Kamis usai penggunaan masker akhirnya diwajibkan di luar ruangan pada hari Sabtu. Batasan ketat juga mulai diberlakukan.
Portugal juga kembali membatasi pertemuan sosial, menjadi maksimal lima orang, sementara masker masih menjadi barang wajib, dan ada denda bagi mereka yang melanggar aturan.
Bahkan Swedia, yang telah dipuji oleh beberapa orang karena strategi 'herd immunity' yang dinilai berhasil kini telah meningkatkan pembatasan ketat.
"Terlalu banyak yang tidak mengikuti aturan. Jika tidak ada koreksi di sini, kita harus mengambil tindakan yang lebih tegas," ujar Perdana Menteri Swedia Stefan Lovfen.
Apa kata WHO?
Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan dilaporkan Reuters menyoroti peningkatan kasus COVID-19 dalam beberapa minggu. Ia mengingatkan untuk mewaspadai angka kematian.
"Peningkatan mortalitas selalu tertinggal dari peningkatan kasus dalam beberapa minggu," kata Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan selama acara media sosial, menurut Reuters.
https://kamumovie28.com/batman-vs-superman-dawn-of-justice-2016/
Studi WHO: Remdesivir Tak Kurangi Risiko Kematian pada Pasien Corona
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, remdesivir dari Gilead Sciences tidak memiliki efek substansial terkait masa tinggal di rumah sakit atau peluang pasien Corona COVID-19 untuk bertahan hidup.
Obat antivirus ini, digunakan sebagai salah satu pengobatan untuk virus COVID-19. Remdesivir sebelumnya digunakan untuk mengobati infeksi virus Corona Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Dikutip dari laman Reuters, solidaritas WHO mengevaluasi efek dari empat regimen obat yang potensial, termasuk obat remdesivir, hydroxychloroquine, kombinasi anti-HIV dari lopinavir/ritonavir, dan interferon, pada 11.266 pasien yang dirawat di rumah sakit lebih dari 30 negara.
Studi tersebut menemukan rejimen tampaknya tak mempengaruhi kematian atau mengurangi kebutuhan untuk ventilasi pasien COVID-19. Dilaporkan juga bahwa obat tersebut memiliki pengaruh yang kecil terhadap berapa lama pasien tinggal di rumah sakit.
Pada awal bulan ini, data dari penelitian remdesivir menunjukkan bahwa pengobatan memangkas waktu pemulihan untuk pasien COVID-19 selama 5 hari dibandingkan dengan plasebo dalam percobaan yang dilakukan pada 1.062 pasien.
Kepala ilmuan WHO Soumya Swaminathan mengatakan bahwa selama penelitian hydroxychloroquine dan lopinavir/ritonavir dihentikan pada bulan Juni setelah terbukti tidak efektif, tetapi uji coba lain berlanjut di lebih dari 500 rumah sakit dan 30 negara.
"Kami sedang mencari apa selanjutnya. Kami sedang melihat pada antibodi monoklonal, kami melihat pada imunomodulator dan beberapa obat anti-virus baru yang telah dikembangkan dalam beberapa bulan terakhir," kata Swaminathan pada hari Rabu (14/10/2020).
Remdesivir menerima izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada tanggal 1 Mei lalu, dan sejak itu telah diizinkan untuk digunakan di beberapa negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar